2012年1月9日星期一

印尼語作文:BANTUAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK TERHADAP MILITER PAKISTAN: PERANG INDIA-PAKISTAN 1965, ALAT UTAMA SISTEM SENJATA GABUNGAN DAN NUKLIR

Sebagai dua negara yang menjalin hubungan diplomatik sejak awal pendirian kedua negara, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Pakistan adalah dua negara yang saat ini dapat dikatakan sebagai sekutu terbaik yang ada di kawasan Asia. RRT merupakan sebuah negara yang didirikan pada 1 Oktober 1949 setelah Partai Komunis Tiongkok (PKT) berhasil mengalahkan pasukan Kuomintang (KMT) di daratan Tiongkok yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek, dua tahun lebih muda dari Pakistan yang didirikan pada 14 Agustus 1947. Kedua negara menjalin hubungan diplomatik sejak 21 Mei 1951, satu tahun setelah Pakistan mengakui RRT sebagai Tiongkok yang sah, mengantikan Republik Tiongkok yang eksodus ke Pulau Taiwan sejak 1949. [1]  Kedua negara pada akhirnya mulai merapatkan hubungan, khususnya ketika masa Perang Dingin yang melibatkan Amerika Serikat, Uni Soviet dan tentunya RRT di dalam konstelasi politik dan ekonomi Pakistan itu sendiri. Meskipun pada faktanya Pakistan mendapat banyak sokongan dari Amerika Serikat untuk membendung pengaruh Blok Timur, relasi mereka justru tidak seharmonis antara RRT dengan Pakistan.
Salah satu faktor yang membuat RRT dan Pakistan menjadi salah satu rekanan terbaik adalah bantuan alat utama sistem senjata (alutsista) terhadap militer Pakistan yang dapat dikatakan sebagai salah satu militer terkuat di Asia dalam skala negara dengan kekuatan menengah (middle power).[2] Sejak RRT dan India terlibat konflik di wilayah perbatasan, relasi antara RRT dengan Pakistan semakin merapat khususnya setelah kedua negara memiliki kepentingan yang sama dalam membendung pengaruh India dan Amerika Serikat. Hal ini ditambah setelah RRT dan Uni Soviet terlibat dalam konflik yang menjadikan kedua negara Komunis terbesar di dunia pada saat itu harus berpisah haluan yang menciptakan dua kiblat Komunis: Kiblat Soviet dan Kiblat RRT. Meskipun Pakistan bukan sebuah negara Komunis, namun kesamaan karakteristik antara RRT dan Pakistan menyebabkan aliansi keduanya menjadi sedemikian dekat. RRT membangun perusahaan amunisi dan menyediakan bantuan untuk memodernisasi teknologi alutsista Pakistan, yang sejak partisi Pakistan dari India menyebabkan militer Pakistan tertinggal cukup jauh di wilayahnya.
Bantuan RRT terhadap militer Pakistan ini menyebabkan perubahan yang cukup signifikan bagi kapabilitas militer Pakistan di wilayah Asia secara umum dan Asia Selatan secara partikular. Dengan jumlah angkatan bersenjata sebesar 612.000 personil dan 513.000 personil cadangan pada tahun 2010, ditambah bantuan dari Amerika Serikat yang juga dalam skala besar tentu menjadikan Pakistan yang pada awal kemerdekaan sebagai salah satu negara dengan militer yang lemah menjadi salah satu yang terkuat.[3] Dengan bantuan RRT pula, Pakistan menjadi salah satu negara yang memiliki senjata nuklir dan reaktor nuklir untuk menyuplai kebutuhan energi nasional. Meskipun secara ekonomi Pakistan masih dapat dikategorikan sebagai salah satu negara berkembang yang relatif miskin dengan tingkat pendapatan per kapita hanya mencapai AS$ 1.100 pada tahun 2010, namun kapasitas militer Pakistan tidak menjadikannya sebagai negara yang tidak masuk perhitungan sebagai negara penting di Asia. Hal ini memicu pertanyaan penelitian yang akan penulis jabarkan, yaitu Bagaimana kiprah RRT sebagai salah satu sekutu terbaik Pakistan dalam upaya membantu perkembangan militer Pakistan, khususnya terkait Perang India-Pakistan tahun 1965, alat utama sistem senjata gabungan dan nuklir?
Sejarah Relasi RRT - Pakistan dalam Kajian Militer
Militer RRT yang dikenal dengan nama Jiefangjun atau Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) sebenarnya hingga abad ke-21 dapat dikatakan sebagai militer yang jauh tertinggal di belakang Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia pada masa itu. TPR merupakan satu-satunya militer dari lima negara Dewan Keamanan Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang tidak memiliki kapal induk hingga tahun 2011.[4] Meskipun demikian, TPR masih tertolong dengan jumlah angkatan bersenjata yang sangat besar – 2.285.000 personil dan 800.000 personil cadangan – dan senjata nuklir pertama (Uranium 235) yang telah diuji coba di Lop Nur, Xinjiang pada 16 Oktober 1964.[5] Perkembangan militer TPR ini dapat dikatakan cukup signifikan bagi negara-negara di Asia lain yang pada masa itu masih relatif miskin dan tertinggal dalam hal teknologi. Pengaruh dari perkembangan militer RRT ini, khususnya di tengah upaya mencari pengaruh sebagai salah satu negara adidaya di Asia, menjadikan diplomasi RRT pada masa itu diwarnai dengan modernisasi militer negara-negara yang menjadi sekutu dari RRT itu sendiri.
Militer Pakistan pada awal kemerdekaan lebih mendekatkan diri pada Amerika Serikat dalam rangka menjalin kerja sama bilateral yang mencakup perkara alutsista. Militer Pakistan baru mulai menjalin relasi dengan RRT secara intensif sejak tahun 1962 yang dimulai pada masa Jendral Ayub Khan ketika melakukan kudeta  militer atas pemerintahan sipil Presiden Iskander Mirza pada tahun 1958.[6] Pakistan yang terlibat konflik dengan India sejak partisi dari India pada tahun 1947 memiliki relasi yang tidak harmonis dengan negara tetangganya tersebut, hal ini menguntungkan RRT yang juga terlibat konflik wilayah perbatasan di Arunachal Pradesh (Tibet Selatan) pada tahun 1962 atas dasar klaim kedua belah pihak. Konflik ini juga diperumit dengan relasi antara Tenzin Gyatso (Dalai Lama XIV Tibet) dengan RRT yang memanas pasca-Pemberontakan Tibet tahun 1959 yang menjadikan Dalai Lama XIV mengungsi ke Dharamsala, India dan menjadikan relasi antara RRT dengan India relatif memburuk.[7] Atas dasar hal tersebut, RRT yang melihat India tidak dapat menjadi sekutu menjadikan Pakistan sebagai salah satu alternatif sekutu terbaik yang dijalinnya hingga saat ini, meskipun relasi antara RRT dengan India relatif membaik pasca-reformasi ekonomi dan keterbukaan kedua negara pada tahun 1978 di RRT dan 1991 di India.
Melalui perapatan hubungan antara RRT dengan Pakistan pada tahun 1962, permasalahan yang terkait dengan persengketaan wilayah antara RRT dengan Pakistan terselesaikan dengan baik melalui Perjanjian Perbatasan Tiongkok-Pakistan yang ditandatangani kedua belah pihak pada tahun 1963.[8] Dalam perjanjian ini, RRT memberikan 1.942 kilometer persegi wilayah yang dipersengketakan antara kedua belah pihak kepada Pakistan, yaitu wilayah Lembah Hunza di Gilgit-Baltistan.[9] Sebagai gantinya, Pakistan juga menyerahkan wilayah Aksai Chin dan Ladakh di wilayah Kashmir kepada pemerintah RRT.[10] Perjanjian ini pada akhirnya mampu membawa kedua negara pada relasi bilateral yang sangat intensif dan contoh penyelesaian konflik perbatasan antara kedua negara ini belakangan banyak digunakan oleh RRT dalam berdiplomasi dengan negara-negara yang berkonflik di wilayah Barat Tiongkok – Asia Tengah – maupun yang lain.[11]
Bantuan militer paling pertama yang dikeluarkan oleh RRT kepada Pakistan adalah pengiriman sejumlah alutsista yang diminta oleh pemerintah Pakistan di bawah pimpinan Jenderal Ayub Khan dalam rangka menjadikan militer Pakistan semakin lebih modern dan mampu mempertahankan dirinya sendiri. Upaya pemodernan alutsista ini sebenarnya tidak hanya bersumber dari RRT, namun juga dari Amerika Serikat yang menginginkan agar Pakistan tidak berpihak pada Blok Timur dalam Perang Dingin yang terjadi. Hanya saja, bantuan Amerika Serikat jauh lebih signifikan terhadap India ketimbang Pakistan. Hal ini menjadikan bantuan militer RRT terhadap militer Pakistan pada masa itu dapat dikatakan cukup signifikan karena sejumlah alutsista modern seperti roket dan senjata tipe 56 yang merupakan AK-47 buatan RRT.[12]
Pada tahun 1965 terjadi Perang antara Pakistan dengan India yang diprakarsai oleh persengketaan wilayah di Jammu dan Kashmir yang sampai kini masih belum terselesaikan dengan baik. Perang yang berlangsung sejak Agustus hingga September 1965 tersebut memaksa PBB untuk mengeluarkan tekanan gencatan senjata kepada kedua belah pihak yang masing-masing diwarnai oleh tarik-menarik pengaruh dalam Perang Dingin – India mendapat sokongan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet sedangkan Pakistan mendapat sokongan dari Amerika Serikat dan RRT. Sebagai dua negara yang memang terlibat konflik dengan India, RRT pada momen Perang India-Pakistan tahun 1965 ini memberikan banyak bantuan militer, khususnya di dalam bantuan alutsista dan modernisasi senjata untuk menandingi India yang memang secara jumlah dan teknologi jauh lebih superior daripada Pakistan – India memiliki 867.000 pasukan berbanding 253.000 pasukan yang dimiliki oleh Pakistan.[13] Bantuan alutsista RRT tersebut antara lain berupa paket senjata tipe 56 dan rudal-rudal yang mampu mempertahankan Pakistan dari serangan India.
Selepas Perang India-Pakistan pada tahun 1965 dan diakhiri melalui Deklarasi Tashkent pada 10 Januari 1966, Pakistan mendapatkan embargo alutsista dari Amerika Serikat dan hal tersebut menjadikan aliansi Pakistan dengan RRT semakin merapat.[14] Perkembangan militer Pakistan atas bantuan yang diberikan oleh RRT semakin lebih intensif setelah RRT dan Pakistan meyepakati pembangunan pabrik alutsista yang bekerja sama dengan RRT di Pakistan. Perusahaan-perusahaan yang dibangun mayoritas adalah salah satu bentuk dari bisnis militer yang persis seperti Angkatan Darat Republik Indonesia pasca-nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, perbedaannya bisnis militer ini tidak didasari pada nasionalisasi, namun lebih pada menciptakan perusahaan-perusahaan baru setelah militer berhasil mengambil-alih pemerintahan sipil pada tahun 1958. Beberapa perusahaan alutsista yang terkenal adalah Pakistan Aeronautical Complex (PAC) yang terletak di wilayah Kamra, Punjab. PAC adalah salah satu tempat perakitan pesawat tempur terbesar ke-tujuh di dunia yang pada saat ini semakin banyak merakit pesawat-pesawat berteknologi tinggi yang didasari pada bantuan militer RRT. Selain itu, juga terdapat Heavy Industries Taxila (HIT) yang sesuai namanya berada di wilayah Taxila, Punjab. HIT banyak merakit amunisi serta ksendaraan berat seperti tank yang dimanfaatkan untuk misi perdamaian dunia melalui misi PBB di negara-negara yang tengah berkonflik.
Proyek Alutsista Gabungan RRT - Pakistan
Melalui hubungan bilateral yang sangat baik antara RRT dan Pakistan pada tahun 1965, kedua negara mulai mengembangkan alutsista gabungan yang dibuat dalam rangka menjadikan militer Pakistan semakin lebih modern dan mampu bersaing di kawasan Asia. Pembangunan perusahaan-perusahaan yang ada di Pakistan, baik BUMN maupun BUMS, yang sejak kemerdekaan Pakistan hingga partisi Bangladesh sangat menunjang kebutuhan perakitan maupun riset terhadap alutsista yang akan menjadi penunjang utama militer Pakistan hingga kini. Perusahaan-perusahaan tersebut pada dasarnya bekerja sama dengan BUMN serupa yang terdapat di RRT.[15] Tidak ayal jika kedua negara pada akhir abad ke-20 banyak menghasilkan produk alutsista gabungan yang berteknologi cukup tinggi.
Salah satu alutsista produksi gabungan yang paling terkenal adalah CAC FC-1 Xiaolong atau PAC JF-17 Thunder yang merupakan pesawat tempur yang diproduksi oleh Chéngdū fēijī gōngyè jítuán (Grup Industri Penerbangan Chengdu), Pakistan Air Force dan PAC pada tahun 2007 – atau Januari 2008 di Pakistan. Pesawat tempur ini dikembangkan dengan jumlah terbatas – hanya sebanyak 34 buah – yang bernilai sekitar AS$ 15 juta hingga 25 juta.[16] Tentu saja pesawat ini menjadi salah satu bentuk keberhasilan dari kedua negara dalam menjalin kerja sama militer yang bertujuan untuk mempersenjatai masing-masing dengan teknologi alutsista yang cukup modern untuk mempertahankan diri dari intervensi asing dan juga sebagai bentuk detterence terhadap pertahanan negara yang semakin diperhitungkan di kancah internasional.
Selain pesawat tempur CAC FC-1 Xiaolong, masih terdapat alutsista lain yang merupakan hasil dari kerja sama militer RRT dan Pakistan. Hongdu JL-8 atau K-8 Karakorum adalah salah satu pesawat latih yang dikembangkan kedua negara pada tahun 1990 dan mulai dioperasikan empat tahun setelahnya, yaitu pada 21 September 1994.[17] Selain pesawat latih ini, ada pula alutsista untuk Angkatan Darat yang berupa rudal yang diproduksi mulai tahun 2005, Babur (Hatf VII) yang dilandaskan pada Hongniao-1 yang dikembangkan oleh RRT pada akhir 1990an.[18] Alutsista Angkatan Darat lain yang tidak kalah penting adalah tank al-Khalid yang dikembangkan berdasarkan tank Tipe-90-IIM yang diproduksi oleh RRT.[19] Tank al-Khalid ini diproduksi sejak tahun 2001 hingga kini dan digunakan di Pakistan dan Bangladesh – yang menggunakan nama MBT-2000. Bentuk kerja sama dalam membangun alutsista gabungan ini pada akhirnya sangat konstruktif untuk menjadikan militer Pakistan sebagai salah satu militer dengan peralatan militer terlengkap kedua di Asia Selatan setelah India dan menjadi salah satu kekuatan militer Asia yang kuat.
Pembangunan Reaktor dan Senjata Nuklir Pakistan
Meskipun embargo alutsista dari Amerika Serikat atas Pakistan sudah dicabut pada tahun 1973 setelah Amerika Serikat melihat kerapatan hubungan antara Pakistan dan RRT yang dianggapnya sebagai ancaman atas eksistensinya di kawasan Asia Selatan, relasi yang dibangun atas dasar kepercayaan tinggi antara RRT dan Pakistan tidak menjadikan pencabutan embargo alutsista Amerika Serikat terhadap Pakistan mampu menandingi aliansi RRT dan Pakistan. Salah satu bagian terpenting daripada aliansi RRT dan Pakistan yang dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece adalah bantuan RRT terhadap penyuplaian senjata dan reaktor nuklir Pakistan sebagai bentuk penangkisan (deterrence) atas upaya yang dilakukan oleh India pasca-Perang India-Pakistan pada tahun 1965.
Perkembangan nuklir di Pakistan, dan secara luas Asia Selatan, dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. India yang masih belum mendapatkan kemerdekaan penuh dari Inggris Raya, sudah terdapat riset terhadap nuklir melalui Indian Industrial Policy Resolution yang dibentuk pada 6 April 1948. Perkembangan senjata nuklir di India terjadi setelah India membangun proyek senjata nuklir dan pemusnah massal pada tahun 1967, dua tahun setelah Perang India-Pakistan pada tahun 1965 yang mempersengketakan wilayah Jammu dan Kashmir. Peranan Uni Soviet dalam upaya memperkuat persahabatannya dengan India menjadikan India mampu menyerap teknologi persenjataan nuklir yang dikembangkannya secara mandiri oleh India – serupa dengan yang dilakukan oleh RRT pada akhir tahun 1950an ketika relasi RRT dengan Uni Soviet tengah memburuk. Pada akhirnya, uji coba nuklir pertama berhasil dilakukan oleh India pada 18 Mei 1974 yang dinamakan proyek Pokhran-I atau Smiling Buddha (Buddha Tersenyum) yang ingin ditujukan kepada pihak asing bahwa pembangunan senjata nuklir India bertujuan untuk perdamaian dan kemanusiaan.[20]
Awal dari perkembangan senjata nuklir di Pakistan dimulai pada tahun 1956, ketika pemerintah Pakistan mendirikan Pakistan Atomic Energy Commission (PAEC).[21] Pendirian komisi ini mendapat dukungan dari parlemen Pakistan dan sokongan dari Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Dwight Eisenhower pada tahun 1953 melalui program Atoms for Peace yang ditujukan untuk negara-negara non-DK PBB, seperti Iran (di bawah pimpinan Muhammad Reza Shah Pahlavi), Turki dan Israel. PAEC sendiri berada di ibukota Islamabad yang memang didesain hanya untuk riset semata. Signifikansi program pembangunan senjata nuklir terjadi ketika pemerintah Pakistan menetapkan wilayah Parr di Rawalpindi, Punjab sebagai salah satu kawasan pembangunan riset reaktor nuklir pertama di Pakistan. Setelah pemerintah Pakistan menolak untuk menandatangani Traktat Nonproliferasi yang dibentuk pada tahun 1968, Pakistan secara sadar telah menolak untuk menangguhkan proyek riset nuklir yang sedang dijalaninya.
Keputusan Pakistan untuk menolak menangguhkan proyek riset nuklir yang sedang dijalaninya tersebut sebenarnya tidak terlepas dari perspektif pemerintah Pakistan melihat India yang tengah melakukan riset nuklir yang mendapatkan sokongan bantuan teknologi dari Uni Soviet yang mampu mengancam keamanan Pakistan sebagai negara tetangga sekaligus seteru dari India sejak kemerdekaan Pakistan diperoleh. Melalui proyek riset nuklir yang dilakukan oleh Pakistan sejak program yang didukung oleh Amerika Serikat, pada tahun 1966 Pakistan memiliki reaktor nuklir berdaya kecil untuk pertama kalinya yang dinamakan Karachi Nuclear Power Plant (KANUPP-I) yang mulai beroperasi pada tahun 1972 yang bekerja sama dengan General Electric Kanada.[22] Proyek reaktor nuklir Pakistan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi Pakistan yang masih menjadi permasalahan serius nasional hingga dua dekade kemerdekaan Pakistan.
Program reaktor nuklir yang dilakukan oleh Pakistan tidak berhenti sampai KANUPP-I saja, pada tahun 1990 ditekan sebuah kontrak yang dibuat antara Zhōngguó hé gōngyè jítuán gōngsī (Perusahaan Nuklir Nasional Tiongkok) asal RRT dengan Pakistan dibangun reakor nuklir kedua, Chashma Nuclear Power Complex (CHASNUPP-I) di Pakistan yang terletak di wilayah Mianwali, Punjab dengan bantuan teknologi RRT yang modern – keluaran nuklir mencapai 325 Megawatt. Reaktor pertama mulai dioperasikan pada 6 Juni 2000, sedangkan reaktor kedua mulai dioperasikan pada 27 Januari 2011. Sampai tahun 2011, masih ada dua reaktor yang belum rampung dan masing-masing akan mulai dioperasikan pada 8 Juni 2015 dan 6 Maret 2017, perjanjian ini tentunya sudah dimulai sejak tahun 1990.[23] Kerjasama ini mendapat restu positif dari International Atomic Energy Agency (IAEA) yang melihat program reaktor nuklir Pakistan memang didasari pada kebutuhan pasokan energi Pakistan yang sampai saat ini masih belum teratasi dengan baik.[24]
Perkembangan reaktor nuklir Pakistan ini tentu saja mengiringi riset senjata nuklir Pakistan pertama yang dimulai pada 20 Januari 1972 di bawah pimpinan Perdana Menteri Zulfiqar Ali Bhutto. Alasan utama yang dikedepankan oleh pemerintah Pakistan pada masa itu adalah program senjata nuklir yang berbentuk bom atom suatu kemutlakan yang harus dimiliki oleh Pakistan untuk menjaga keselamatan nasional Pakistan yang merasa terancam dengan program senjata nuklir India yang sudah dimulai lima tahun sebelumnya. Rencana pembangunan senjata nuklir Pakistan ini pada awalnya tidak mendapat restu dari negara-negara besar penyokong Pakistan, seperti RRT maupun Amerika Serikat yang melihat program ini terlalu diwarnai kecurigaan antara India dengan Pakistan yang dapat memicu perang lebih besar lagi daripada dua perang yang pernah terjadi antara kedua negara pada tahun 1947 dan 1965. Salah satu kutipan yang paling penting terkait pembelaan Zulfiqar Ali Bhutto terkait program senjata nuklir yang direncanakan adalah sebagai berikut:[25]
“If India builds the bomb, we will eat grass and leaves for a thousand years, even go hungry, but we will get one of our own. The Christians have the bomb, the Jews have the bomb and now the Hindus have the bomb. Why not the Muslims too have the bomb?”
(Jika India membangun bom [atom], kami akan makan rumput dan dedaunan untuk seribu tahun, bahkan kelaparan, namun kami akan memiliki [bom atom] milik kami sendiri. Kaum Kristen memiliki bom, Yahudi memiliki bom dan sekarang Hindu memiliki bom. Mengapa tidak Muslim juga memiliki bom?)
Meskipun RRT pada awalnya tidak simpatik dengan perencanaan program senjata nuklir Pakistan ini, melalui pertemuan bilateral antara Presiden Ayub Khan dan Zulfiqar Ali Bhutto – masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Pakistan – dengan Perdana Menteri RRT, Zhou Enlai yang dilakukan pada tahun 1964 sudah bernegosiasi mengenai uji coba senjata nuklir yang telah dilakukan oleh RRT pada tahun yang sama.[26] Hanya saja, partisi Bangladesh – yang merupakan wilayah Pakistan Timur sebelum tahun 1971 – atas Pakistan Barat menyebabkan Pakistan semakin terisolasi dalam pergaulan internasional, termasuk kehilangan dukungan dari Amerika Serikat dan RRT dalam banyak hal yang menyebabkan Pakistan dalam pandangan Zulfiqar Ali Bhutto sedang memasuki tahapan yang sama dengan Jerman pada masa pasca-Perang Dunia I. Hal tersebut menjadikan Pakistan menolak untuk menandatangani perjanjian non-proliferasi yang mengharuskan Pakistan untuk mengorbankan program yang sedang dilaksanakannya.
Pakistan pada akhirnya berhasil melakukan uji coba senjata nuklir pertamanya pada Mei 1998 yang dinamakan Chagai-I, nama yang diambil dari tempat uji coba – Bukit Chagai, Provinsi Baluchistan.[27] Uji coba senjata nuklir Pakistan ini ternyata bersamaan dengan uji coba senjata nuklir India yang merupakan kelanjutan dari program Smiling Buddha yang dinamakan Pokhran-II.[28] Negara-negara Barat dan Jepang secara serentak melakukan embargo ekonomi terhadap Pakistan dan India untuk waktu yang relatif singkat dalam rangka program senjata nuklir ini. Begitu pula Amerika Serikat menuduh pemerintah RRT sebagai aktor utama yang menyokong Pakistan untuk mengembangkan senjata nuklir sehingga menjadikan Pakistan sebagai negara ketujuh di dunia yang memiliki senjata nuklir secara terbuka. Bantuan RRT yang paling terlihat jelas dalam program Chagai-I ini adalah pembelian 5.000 magnet khusus oleh Khan Research Laboratories (KRL) dari sebuah BUMN RRT pada tahun 1995. Uji coba senjata nuklir termutakhir yang dilakukan oleh Pakistan dinamakan dengan Chagai-II yang dilakukan pada 30 Mei 1998, hanya beberapa hari setelah uji coba senjata nuklir yang pertama. Wilayah uji coba dalam program Chagai-II berada di wilayah Gurun Kharan, Provinsi Baluchistan.[29]
Penutup
Relasi kedua negara antara RRT dengan Pakistan sebenarnya dapat diibaratkan seperti relasi Amerika Serikat dengan Israel yang sebenarnya sangat dekat dan menjadikannya sebagai dua entitas yang tidak terlepas dari kedekatan politik, ekonomi dan tentunya militer.[30] Kajian mengenai hubungan RRT dengan Pakistan dalam urusan militer tentu saja tidak terlepas dari kepentingan RRT atas Pakistan yang dipakai sebagai sarana membendung konflik antara RRT dengan India yang berlangsung cukup sengit pada dekade 1960an hingga 1970an. RRT dan Pakistan masing-masing memandang India sebagai negara yang memiliki permasalahan secara langsung dengan mereka, sehingga hal ini menjadikan kedua negara menjalin relasi yang sangat dekat dimulai setelah Konflik RRT-India pada tahun 1962 hingga kini.
Tentu saja menarik untuk diperhatikan bahwa kedua negara memiliki hubungan bilateral terkait militer yang sangat dekat. Dimulai dari bantuan militer RRT terhadap Pakistan ketika meletus Perang India-Pakistan pada tahun 1965, pelaksanaan proyek alutsista gabungan yang menghasilkan tidak sedikit alutsista berteknologi tinggi yang mampu menjadi alat utama bagi militer Pakistan untuk mempersenjatai diri demi pertahanan negaranya dari ancaman negara-negara yang terlibat konflik dengan Pakistan secara langsung. Hal tersebut tentu saja menjadikan Pakistan yang sejak awal kemerdekaannya memiliki militer yang lemah menjadi lebih kuat dan bahkan termasuk salah satu negara dengan militer yang kuat di Asia. Hal ini tidak terlepas dari proyek senjata nuklir yang dimiliki oleh Pakistan untuk mempertahankan keamanan nasional Pakistan yang merasa terancam dari India yang juga memiliki senjata nuklir sejak tahun 1974.
Hubungan militer RRT dan Pakistan tentu saja belum akan menuju titik jenuh, mengingat relasi antara RRT dan Pakistan terhadap India masih relatif rapuh, meskipun RRT dan India sejak abad ke-21 mulai menjalin relasi yang lebih konsolidatif dan intensif terkait ekonomi – khususnya dalam pengelompokan negara-negara industri baru, BRICS (Brasil, Rusia, India, RRT dan Afrika Selatan). Meskipun tidak dapat dipungkiri terdapat juga konflik kecil antara RRT dengan Pakistan, khususnya terkait kelompok separatis Xinjiang Duli Yundong (Gerakan Kemerdekaan Turkistan Timur) di Xinjiang, Tiongkok yang memiliki relasi khusus dengan Pakistan, namun relasi yang telah dibangun sejak awal pendirian kedua negara menjadikan RRT dan Pakistan sebagai salah satu sekutu terbaik yang ada di Asia, khususnya dalam bidang militer.
(Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Politik di Asia Selatan Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tahun Akademik 2011/2012. Penulis bertanggungjawab sepenuhnya atas tulisan ini.)

[1] Rénmín wǎng zīliào, “1951 Nián 5 yuè 21 rì wǒguó yǔ bājīsītǎn jiànjiāo” (http://www.people.com.cn/GB/historic/0521/1669.html). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul  20.13 WIB
[2] Amina Ibrahim, Guarding the State or Protecting the Economy: The Economics Factors of Pakistan’s Military Coups (London: LSE Press, 2009), hlm. 5
[3] Yang Cuibai dan Liu Chengqiong, Guózhì: Bājīsītǎn (Beijing: Shèhuì kēxué wénxiàn chūbǎn shè, 2004), hlm. 76
[4] Zhang Wenmu, “Sea Power and China’s Strategic Choices,” China Security, No. 3 (Summer 2006), hlm. 21.
[5] Erik Durschmeid, Beware The Dragon: China: 1,000 Years of Bloodshed (London: Andre Deutsch, 2008), hlm. 279
[6] Bates Gill, Rising Star: China’s New Security Diplomacy (Washington DC: Brookings Institution Press, 2007), hlm. 24
[7] ibid., hlm. 25
[8] Cui Yuanyuan, Bajisitan Kongjun de Zhongguo Zhanji (Beijing: Zhōngguó xuéshù qíkān diànzǐ zázhì chūbǎn shè, 2005), hlm. 12
[9] ibid., hlm. 13
[10] ibid., hlm. 14
[11] ibid., hlm. 15
[12] Zuo Mingsheng, Zhōngguó xiàng bājīsītǎn chūshòu zhànjī mìwén (Beijing: Zhōngguó xuéshù qíkān diànzǐ zázhì chūbǎn shè, 2005), hlm. 38
[13] Yang Cuibai dan Liu Chengqiong, op. cit., hlm. 112
[14] ibid., hlm. 126
[15] Cui Yuanyuan, op. cit., hlm. 19
[16] Guoji Zhanwang, Léidiàn kōngjiàng bājīsītǎn de JF - 17 zhàndòujī gǎibiàn cìdàlù kōngzhōng lìliàng duìbǐ (Beijing: Zhōngguó xuéshù qíkān diànzǐ zázhì chūbǎn shè, 2007), hlm. 33
[17] Zuo Mingsheng, op. cit., hlm. 40
[18] ibid., hlm. 42
[19] ibid., hlm. 43
[20] Informasi diperoleh dari http://nuclearweaponarchive.org/India/IndiaSmiling.html. Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 22.20 WIB
[21] Yang Cuibai dan Liu Chengqiong, op. cit., hlm. 217
[22] ibid., hlm. 226
[23] ibid., hlm. 230
[24] ibid., hlm. 228
[25] Zuo Mingsheng, op. cit., hlm. 41
[26] ibid.
[27] ibid., hlm. 43
[28] ibid.
[29] ibid.
[30] Pernyataan ini secara resmi dinyatakan oleh salah satu delegasi RRT untuk merespon kritik tajam diplomat Amerika Serikat ketika berkunjung ke Beijing pada Oktober 2010 yang melihat RRT yang terlalu menyokong Pakistan dalam segala hal. Lihat Peter Young, “Analysis: Pakistan is our Israel” (http://www.dailytimes.com.pk/default.asp?page=2011\09\19\story_19-9-2011_pg3_2). Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 09.11 WIB

没有评论:

发表评论