2012年1月9日星期一

印尼語作文:TRANSISI POLITIK REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK DAN REPUBLIK TIONGKOK (TAIWAN): KAJIAN TERHADAP DEMOKRATISASI


Dinamika politik dan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pasca-reformasi ekonomi dan keterbukaan (gaige kaifang) yang diterapkan sejak tahun 1978 hingga kini menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas, khususnya ketika reformasi ekonomi dan keterbukaan yang didalangi oleh Deng Xiaoping tersebut menjadikan RRT kembali sebagai salah satu kekuatan ekonomi global yang sangat vital. Setelah mangkatnya Mao Zedong sebagai pemimpin utama (dang he guojia zuigao lingdaoren) generasi pertama pada tahun 1976 yang sangat ortodoks terhadap idealisme Maoisme, pada akhirnya ortodoksi Maoisme dalam hal ekonomi harus mengalami perubahan yang sangat mendasar di bawah pemimpin utama generasi kedua yang dilakoni oleh Deng Xiaoping. Sejak semula didirikannya RRT, negara ini menganut sistem ekonomi komando yang melalui reformasi ekonomi dan keterbukaan kini menjadi sistem ekonomi pasar yang bebas.
Sejak reformasi ekonomi dan keterbukaan, RRT kini menjadi negara yang semakin aktif dalam kegiatan internasional, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi. Hal tersebut tentu saja menjadikan Republik Tiongkok (Taiwan) yang menjadi seteru sejati RRT menjadi semakin tersudutkan dalam kancah perpolitikan internasional. Hal ini dapat dilihat setelah terjadi penurunan drastis jumlah negara yang mengakui kedaulatan Taiwan sebagai pemerintahan Tiongkok yang sah. Misalnya saja, pada tahun 1992 Korea Selatan yang menjadi sekutu dekat Taiwan harus mengalihkan pengakuan internasional dari Taiwan ke RRT. Pada masa kini, Taiwan aktif di dalam organisasi internasional yang jumlahnya terbatas, seperti World Trade Organization (WTO) atau Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) yang lebih menekankan pada bidang ekonomi ketimbang politik.
Tentu saja esai ini akan menjadi menarik apabila studi kasus terhadap RRT dan Taiwan dapat ditinjau dari segi sosio-historis perkembangan politik RRT dan Taiwan sedari awal. Transisi politik dari tiap-tiap era pemerintahan di RRT dan Taiwan akan menjadi bagian yang sangat penting untuk dibahas dengan memperhatikan beberapa pertanyaan seperti berikut:
1.      Bagaimana perjalanan transisi politik di RRT dan Taiwan sejak kedua negara ini terbentuk?
2.      Bagaimana relasi antara transisi politik terkait demokratisasi terhadap reformasi ekonomi dan keterbukaan di RRT?
3.      Bagaimana relasi antara transisi politik terhadap demokratisasi yang semakin terkonsolidasi di Taiwan?
Untuk melengkapi analisa kasus yang terkait dengan pertanyaan di atas, kami menggunakan salah satu teori yang sangat penting untuk dilihat, yaitu teori transisi demokrasi. Dalam teori ini, dibagi empat jenis transisi yang terjadi di beberapa negara di dunia, yaitu:
1.      Pendekatan Strukturalis
2.      Pendekatan Pilihan Strategis
3.      Pendekatan Institusionalis
4.      Pendekatan Ekonomi Politik
Dalam pendekatan strukturalis, diasumsikan bahwa pembangunan ekonomi, budaya politik, konflik kelas, struktur sosial dan kondisi sosial lainnya dapat menjelaskan keluaran partikularistik dari transisi yang ada. Pendekatan ini lebih menekankan pada kondisi sosial yang berada dalam level makro atau sosio-ekonomi dan pra-syarat budaya dari demokrasi. Pendekatan ini juga mencari penjelasan sebab-akibat dari demokrasi dan memperjelas sifat dari hubungan tersebut. Dari hasil penelitian kuantitatif, pendekatan ini menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara demokrasi dan pembangunan ekonomi, serta berbagai aspek pembangunan sosial lainnya di negara-negara yang menjadi obyek studi.[1]
Pendekatan pilihan strategis melihat transisi terkonsentrasi pada pilihan strategis elit sebagai ujung tombak dari keberhasilan maupun kegagalan transisi yang dilakukan. Penyokong dari pendekatan ini terfokus pada level mikro, seperti peranan penting para elit dan pilihan strategis yang diambil, perpecahan di dalam rezim otoritarianisme itu sendiri dan kompromi politik antara kelompok garis keras (hard-liner) dengan kelompok garis lunak (soft-liner). Studi dalam pendekatan ini lebih menekankan pada proses otonomi politik ketimbang faktor-faktor determinan ekonomi yang menyebabkan perubahan politik. Kalkulasi elit, pilihan strategis dan interaksi antara pilihan-pilihan yang ada dilihat sebagai faktor utama yang menentukan keluaran-keluaran politik dan menunjukan keberhasilan maupun kegagalan transisi demokrasi.[2]
Pendekatan institusionalis menekankan pada dampak dari institusi-institusi yang ada terhadap pembentukan kebijakan dan pola dari aksi politik, serta penekanan utama dalam peranan institusi terkait pembentukan dan penghambat tujuan dan preferensi aktor politik. Penyebab pemerintahan yang terinstitusionalisasikan dilihat sebagai variabel penjelas untuk variasi dalam transisi pemerintahan. Dalam pendekatan ini, penelitian lebih ditekankan pada perubahan dalam relasi negara dan masyarakat yang memainkan peranan krusial dalam transisi demokrasi yang ada. Pada akhirnya, organisasi masyarakat memainkan peranan yang sangat vital terkait demokratisasi yang terjadi, mengingat peranannya sebagai institusi yang mampu menjadi kelompok penekan pemerintahan yang mengakumulasi aspirasi masyarakat secara terstruktur.[3]
Terakhir pendekatan ekonomi politik lebih menekankan pada rangkaian reformasi politik dan ekonomi yang terjadi dalam sebuah negara. Hubungan saling mempengaruhi antara politik dan ekonomi menjadi variabel penjelas terkait keluaran transisi yang ada, dengan perhatian partikularistik terhadap transisi ganda dari pemerintahan otoritarianisme menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Dalam hal ini, kondisi ekonomi mempengaruhi kapasitas penguasa yang otoriter untuk secara bertahap menarik diri dari otoritarianisme yang diterapkan. Pada akhirnya, kebijakan ekonomi yang dibentuk menuju demokrasi yang terkonsolidasi biasanya didukung oleh faktor eksternal, seperti krisis ekonomi yang menggoyahkan pemerintahan otoriter. Kebijakan ekonomi yang tidak berhasil akan menghasilkan kembalinya pemerintahan otoritarianisme, sedangkan keberhasilan kebijakan ekonomi yang diterapkan akan membawa pada demokrasi yang terkonsolidasi.[4]
Selayang-Pandang Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok (Taiwan)
RRT dan Taiwan memang merupakan dua entitas yang seolah-olah sama atas dasar historis dan kultural. Akan tetapi, pada dasarnya terdapat perbedaan yang sangat mencolok dalam hal politik yang pada akhirnya memisahkan dua entitas ini menjadi dua negara yang saling tarik-menarik pengaruh di dunia internasional. Pada masa kini, terdapat 171 negara yang mengakui kebijakan Satu Tiongkok (yi ge zhongguo yuanze) berada di bawah pemerintahan RRT (Zhonghua Renmin Gongheguo) di Beijing dan 23 negara lain mengakui pemerintahan Taiwan di Taipei yang mengusung identitas Repubik Tiongkok (Zhonghua Min Guo).[5] Dikotomi Tiongkok ini terjadi pada masa setelah 1949 ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil merebut pemerintahan dari Republik Tiongkok yang dikuasai oleh Kuomintang (KMT) yang Nasionalis di bawah pimpinan Chiang Kai-shek dan mendirikan ibukota di Beijing (dulu dinamai Beiping). Pemerintahan KMT yang terdesak pada akhirnya mengungsi ke Pulau Taiwan dan secara de facto mendirikan ibukota sementara di Taipei dari yang sebelumnya di Nanjing, Provinsi Jiangsu.[6]
Awal perkembangan sejarah Republik Tiongkok dimulai pada tahun 1911 ketika Tongmenghui, organisasi yang disponsori oleh Tionghoa perantauan yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat-sen beserta koleganya berhasil menggulingkan pemerintahan Kekaisaran terakhir dalam sejarah bangsa Tionghoa – Dinasti Qing – melalui Xinhai Geming (Revolusi Xinhai) yang termasuk di dalamnya Wuchang Qiyi (Pemberontakan Wuchang) pada 10 Oktober 1911.[7] Akan tetapi, pada masa itu terdapat dikotomi antara Tiongkok Utara dan Tiongkok Selatan yang dipisahkan melalui pengaruh yang ada. Tiongkok Utara dikuasai oleh Junfa (Warlord) sedangkan Tiongkok Selatan dikuasai oleh kelompok Nasionalis KMT. Reunifikasi Tiongkok Utara dan Selatan akhirnya dapat tercipta setelah kekuasaan dipegang oleh Chiang Kai-shek di bawah KMT pada tahun 1928. Ironisnya, tiga tahun kemudian Tiongkok harus kehilangan Manchuria yang menyatakan diri berpisah setelah terjadi Insiden Mukden dan harus berperang dengan rezim militeristik Jepang yang melakukan invasi ke Tiongkok pada tahun 1937 hingga 1945.
Setelah Jepang secara resmi menyerah kepada pasukan sekutu – Republik Tiongkok menjadi bagian daripada sekutu – Tiongkok mempersatukan kembali beberapa wilayah yang terpecah, seperti Manchuria, Taiwan, Tibet dan Xinjiang. Hanya saja, Pemerintahan Chiang Kai-shek harus mengalami tekanan yang kuat dari pihak Komunis yang sudah menetapkan basis di Yan’an, Sha’anxi dan merebut beberapa desa dan kota vital Tiongkok melalui strategi Changzheng (Long March) yang dilancarkan pada tahun 1934-1935.[8] Akhirnya pada tahun 1945 hingga 1949 meletus Perang Sipil di Tiongkok yang menyebabkan terelokasinya pemerintahan Republik Tiongkok ke Pulau Taiwan yang dilindungi oleh pasukan Amerika Serikat. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong mendeklarasikan pendirian Republik Rakyat Tiongkok yang menjadi identitas baru dalam sejarah perpolitikan Tiongkok. Hal ini dapat dilihat melalui berubahnya bendera negara Tiongkok dari yang sebelumnya dikenal dengan sebutan qingtian bairi mandihong  (langit biru, matahari putih, merah menyeluruh) yang kini masih digunakan oleh pemerintahan Republik Tiongkok di Taiwan menjadi wuxing hongqi (bendera merah lima bintang) yang kini digunakan oleh pemerintahan RRT. Begitu pula lagu kebangsaan RRT yang berbeda dengan Republik Tiongkok, yaitu Yiyongjun Jinxingqu yang sebelumnya adalah Zhonghua Min Guo Guo Ge. Ideologi Sanmin Zhuyi yang dicetuskan oleh Dr. Sun juga mulai tergeser peranannya di RRT oleh paham Maoisme yang merupakan derivasi dari Marxisme-Leninisme.[9]
Transisi Politik di Republik Rakyat Tiongkok
Pemerintahan di RRT setelah menetapkan diri sebagai negara berdaulat atas Tiongkok dapat dibagi ke dalam dua periode besar, yaitu pra-reformasi ekonomi dan keterbukaan 1978 (pra-1978) dan pasca-reformasi ekonomi dan keterbukaan 1978 (pasca-1978). Pada masa pra-1978, RRT berada di bawah pemerintahan generasi pertama yang dipimpin oleh Mao Zedong dengan koleganya. Pada masa ini, RRT cenderung menjadi negara yang tertutup terhadap negara Blok Barat yang kapitalis dan banyak mencanangkan program-program ambisius, seperti Da Jin Bu (Lompatan Jauh ke Depan) pada tahun 1958-1961 dan Da Wenhua Geming (Revolusi Kebudayaan) pada tahun 1966-1976. Kedua program ambisius yang diprakarsai oleh Mao Zedong pada akhirnya justru bersifat destruktif bagi masyarakat RRT secara sosial, ekonomi dan budaya. Salah satu tragedi kemanusiaan yang paling mengkhawatirkan adalah kelaparan besar pada tahun 1958-1961 di RRT yang menyebabkan penurunan populasi Tiongkok hingga 15-30 juta jiwa dalam waktu tiga tahun.[10]
Sejak mangkatnya Mao Zedong pada 9 September 1976, terdapat trikotomi kelompok yang memiliki orientasi berbeda satu sama lain. Kelompok pertama adalah kelompok berhaluan eksterim kiri yang dijuluki dengan nama Siren Bang (Gang Empat) yang terdiri dari Jiang Qing, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan dan Wang Hongwen. Kelompok ini pada akhirnya dijatuhi hukuman yang berat atas dasar tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan selama Revolusi Kebudayaan. Pada akhirnya, kekuasaan beralih dari generasi pertama menuju generasi kedua yang dipimpin oleh seorang ortodoks Maoisme bernama Hua Guofeng yang berasal dari kelompok kedua. Hua mencetuskan pemikiran liang ge fan shi (Dua Apapun) yang ditujukan untuk menegakan kebijakan yang dibentuk dan mengikuti instruksi yang dihimbau oleh Mao Zedong untuk merestorasi RRT dari destruktivitas yang didapatkan pasca-Revolusi Kebudayaan. Mengingat kondisi ekonomi RRT yang tidak kunjung berubah secara signifikan di tengah populasi yang hampir menyentuh angka 1 miliar jiwa pada akhir 1970an, hal tersebut menjadikan gerakan-gerakan pragmatisme yang bertujuan reformatif yang diambil oleh sekelompok elit yang diprakarsai oleh Deng Xiaoping yang berasal dari kelompok ketiga. Pada akhirnya, generasi kedua yang sebelumnya dipegang oleh Hua Guofeng beralih menjadi Deng Xiaoping atas dasar reformasi ekonomi dan keterbukaan yang diterapkan pada tahun 1978 melalui Sidang Pleno Ketiga Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok ke-11 pada bulan Desember. Salah satu pemikiran yang terkenal kemudian adalah Deng Xiaoping Lilun (Teori Deng Xiaoping).[11]
Sejak melakukan reformasi ekonomi dan keterbukaan, RRT dapat dikategorikan sebagai negara yang berbeda karena menggunakan dualisme sistem politik dan ekonomi yang bertolakbelakang pada hakikatnya. Secara politik, RRT masih mempraktikan Renmin Minzhu Zhuanzheng (Hegemoni  Demokrasi Rakyat) yang pada dasarnya bersifat otoriter di bawah PKT yang menjadi partai tunggal dominatif. Di sisi lain, dalam hal ekonomi RRT telah menerapkan sistem kapitalis sosialis atau lebih dikenal sebagai Shehui Zhuyi Shichang Jingji (Sistem Pasar Sosialis dengan Karakteristik Tiongkok). Pada masa ini berkembang dengan pesat Guoyou Qiye (State-owned Enterprises, SOEs) yang sangat besar seperti Zhongguo Shihua (Sinopec) maupun privatisasi SOEs yang hampir pailit kepada pihak swasta lokal yang kompeten dalam mengelola perusahaan, seperti Haier di bawah pimpinan Zhang Ruimin yang menjadi salah satu merek dagang terpopuler RRT.[12]
Melalui reformasi ekonomi dan keterbukaan, RRT pasca-1978 mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan – rata-rata di atas 10% per tahun – selama 1978 hingga 1989. Akan tetapi, hal tersebut pada akhirnya melahirkan kesenjangan ekonomi yang melebar dan ketika terjadi inflasi harga kebutuhan pokok, hal tersebut menjadi momok yang sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah RRT. Salah satu hal yang paling menonjol dalam hal ini adalah Insiden 4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen, Beijing yang menjadi perhatian global dalam melihat RRT di tengah tekanan demokratisasi yang marak berlangsung di negara-negara Blok Timur pada masa itu. Insiden 4 Juni ini diawali oleh banyak faktor, salah satu faktor yang paling determinan adalah inflasi yang menyentuh angka 19% pada pertengahan tahun 1988 yang menyebabkan kelas menengah ke bawah dan miskin RRT merasa kesulitan secara ekonomi akibat kenaikan harga-harga. [13] Faktor tersebut dimanfaatkan oleh sekelompok mahasiswa, akademisi dan buruh pro-demokrasi RRT untuk menggelar demonstrasi secara masif di kota-kota besar RRT sejak mangkatnya Hu Yaobang pada 15 April 1989 hingga meletusnya Insiden 4 Juni tersebut.
Sebagai pemimpin utama yang menduduki jabatan Ketua Komite Sentral Militer, Deng Xiaoping mendapatkan tekanan yang kuat dari koleganya di dalam zhonggong zhongyang (Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok) untuk menggunakan militer yang ada sebagai penjaga stabilitas negara yang berada di ambang kekacauan. Pada akhirnya, Deng Xiaoping mengerahkan militer ke titik-titik terjadinya demonstrasi dan terjadi pertumpahan darah yang cukup signifikan secara jumlah, meskipun tidak pernah ada laporan yang sesuai untuk hal ini. Insiden 4 Juni ini menjadikan RRT yang tengah mengalami pertumbuhan ekonomi secara masif mendadak dikucilkan dalam pergaulan internasional, khususnya negara-negara industri maju yang mengeluarkan embargo. Pertumbuhan ekonomi RRT menurun drastis hingga rata-rata 3% per tahun pada 1989-1992.
Dengan berbagai upaya, Deng Xiaoping kembali mencoba memulihkan pertumbuhan ekonomi RRT menjadi sediakala. Pada tahun 1992, Deng Xiaoping bersama rombongan mengadakan perjalanan ke kota-kota penting di Tiongkok Selatan – Guangzhou, Shenzhen dan Zhuhai, Provinsi Guangdong – dalam rangka mempromosikan reformasi ekonomi yang dicanangkan sejak tahun 1978.[14] Melalui perjalanan ke Selatan tersebut, RRT secara perlahan kembali memperoleh pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan – di atas 10% per tahun – hingga tahun 2011 kini. Salah satu penyebabnya adalah basis manufaktur berorientasi ekspor yang semakin digalakan dengan jaminan yang diberikan oleh pemerintah dengan mata uang renminbi yang dipatok terhadap Dolar Amerika pada level yang cukup rendah – AS$ 1 setara dengan sekitar RMB 8 dan kini RMB 6,34.[15]
Salah satu momen terpenting dalam transisi politik generasi kedua di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping adalah pengembalian Hong Kong dari Inggris Raya melalui Zhong-Ying Lianhe Shengming (Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris) pada tahun 1984. Hong Kong adalah wilayah yang diacuhkan oleh Tiongkok pada masa pasca-Perang Dunia ke-II oleh Chiang Kai-shek ketika hampir seluruh wilayah Tiongkok kembali ke dalam pemerintahan Republik Tiongkok. Meskipun Deng Xiaoping tidak dapat menyaksikan penyerahan kedaulatan Hong Kong dari Inggris Raya kepada RRT karena Deng Xiaoping mangkat pada 19 Februari 1997, namun  peranan Deng Xiaoping sebagai aktor utama dalam pengembalian Hong Kong ke RRT dengan jaminan yiguo liangzhi (satu negara dua sistem) yang ditujukan untuk menjamin hak demokrasi rakyat Hong Kong yang sudah dibangun secara mapan tanpa harus terikat dengan hukum yang diberlakukan di Tiongkok daratan. [16]
Relasi antara RRT dengan Taiwan pada masa Deng Xiaoping juga patut menjadi perhatian utama yang dapat menjadi fokus utama dalam makalah ini. Di tengah peralihan pengakuan kedaulatan oleh Amerika Serikat – yang notabene adalah sekutu utama Republik Tiongkok yang berada di Taiwan – kepada RRT pada tahun 1972, sebenarnya posisi RRT semakin diuntungkan dalam program Satu Tiongkok yang disebarluaskan kepada seluruh negara yang menjadi mitra diplomatiknya. Salah satu keuntungan yang didapatkan adalah mulai mengendurnya pasokan alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang dipasok oleh Amerika Serikat terhadap Taiwan, meskipun masih terdapat rangkaian perjanjian yang masih mengganjal relasi antara RRT dengan Amerika Serikat, seperti diberlakukannya Taiwan Relations Act (TRA) yang masih menjamin kesinambungannya relasi Taiwan dengan Amerika Serikat dalam penyuplaian alutsista meskipun tidak lagi semasif era Mao Zedong.[17]
Kiprah Deng Xiaoping sendiri sebenarnya masih menjadi suatu perdebatan di antara rival politiknya yang berhaluan kiri atau Maois. Program penetapan Zona Ekonomi Khusus RRT sejak tahun 1979 misalnya, banyak dikritik oleh kalangan tersebut sebagai upaya memberikan konsesi yang terlampau luas kepada pihak asing yang menjadikan RRT sebagai negara kapitalis yang membabi-buta tanpa bercermin pada sejarah pahit yang pernah dialami Tiongkok pada masa akhir Dinasti Qing. Kritik-kritik tersebut ditanggapi oleh Deng Xiaoping secara bijaksana dengan menyatakan bahwa RRT tidak akan mengadaikan bagiannya kepada pihak asing seperti yang pernah terjadi pada masa akhir Dinasti Qing karena terdapat prinsip merger and acquisition (M&A) yang diperuntukan transfer teknologi bagi perusahaan-perusahaan lokal yang berkerja sama dengan perusahaan asing. Selain itu, hak yang diperoleh pihak asing di RRT sangat dibatasi dengan sangat ketat seperti seleksi pajak dan dampak bagi kesinambungan masyarakat dan lingkungan.[18] Semua itu pada akhirnya benar-benar terwujud hingga masa kini ketika tidak terdapatnya satu pun perusahaan asing di RRT yang tidak mematuhi ketentuan yang dikeluarkan pada masa Deng Xiaoping.
Sebelum mangkatnya Deng Xiaoping pada tahun 1997, sebenarnya telah terjadi transisi dari generasi kedua menuju generasi ketiga yang diberikan kepada Jiang Zemin pada Oktober 1992. Akan tetapi, kiprah generasi ketiga sendiri baru sepenuhnya terlepas dari bayang-bayang Deng Xiaoping semenjak mangkatnya Deng Xiaoping pada tahun 1997. Jiang Zemin adalah tokoh utama yang menjalankan Teori Deng Xiaoping secara lebih komprehensif dengan tambahan pemikiran San ge Taibiao (Mewakili Tiga) yang mencakup produksi ekonomi, pembangunan budaya dan konsensus politik. Perlu juga diketahui bahwa pada generasi ketiga ini mulai dikenal istilah Shanghai Bang dan Qinghua Bang (Klik Shanghai dan Klik Qinghua) yang merupakan kelompok informal utama yang umum berada di dalam pemerintahan pusat RRT.[19] Pada masa kepemimpinan Jiang Zemin, terdapat fluktuasi hubungan antara RRT dengan Taiwan yang dimulai dari penembakan rudal ke arah selat Taiwan pada tahun 1996 terkait pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok pada tahun tersebut secara langsung, ketika dalam perspektif RRT menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian integral dari RRT yang tidak mungkin dapat memilih pemimpin secara langsung tanpa seizin dari pemerintah pusat di Beijing. Di sisi lain, Jiang Zemin juga menjalin relasi yang cukup hangat dengan Taiwan dengan meluncurkan Proposal Delapan Poin yang diajukan pada tahun 1995, satu tahun sebelum pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok secara langsung diselenggarakan, yang menyatakan bahwa:[20]
1.      Kepatuhan terhadap prinsip Satu Tiongkok adalah dasar dan premis untuk reunifikasi damai;
2.      Republik Rakyat Tiongkok tidak akan menentang pengembangan hubungan ekonomi dan budaya non-pemerintah yang diselenggarakan oleh Taiwan dengan negara-negara lain;
3.      Telah menjadi konsistensi bagi Republik Rakyat Tiongkok untuk mengadakan perundingan secara damai terkait reunifikasi dengan pemerintah yang ada di Taiwan;
4.      Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan harus menjalin kerja sama untuk menciptakan reunifikasi karena Tionghoa tidak harus melawan sesama saudara Tionghoa.
5.      Dalam menghadapi perkembangan ekonomi dunia di abad ke-21, upaya-upaya besar harus dilakukan untuk memperluas pertukaran ekonomi dan kerjasama antara kedua sisi Selat Taiwan (Republik Rakyat Tiongkok dengan Taiwan) sehingga mencapai kemakmuran di kedua belah pihak untuk kepentingan seluruh bangsa Tiongkok.
6.      Budaya gemerlap selama 5.000 tahun yang dihasilkan oleh putra-putri dari seluruh kelompok etnik Tiongkok telah menjadi hubungan baik yang mendekatkan hati dan menjaga kedekatan bangsa Tionghoa, serta menjadi dasar bagi reunifikasi damai tanah air.
7.      Para 21 juta saudara sebangsa di Taiwan, baik yang terlahir di sana maupun di provinsi lain, semuanya adalah Tionghoa dan merupakan darah daging bangsa kita sendiri.
8.      Para pemegang otoritas di Taiwan dipersilakan untuk memberikan kunjungan pada kapasitas yang sesuai.
Masa jabatan Presiden, Perdana Menteri, Ketua Kongres Nasional, Sekertaris-Jenderal PKT, anggota Komite Sentral lain serta jabatan-jabatan lokal terkait sejak diberlakukannya reformasi ekonomi dan keterbukaan mengalami serangkaian pembatasan. Untuk jabatan anggota Komite Sentral Politbiro PKT, pembatasan jabatan yang diberlakukan yaitu lima tahun masa jabatan dan dapat kembali bertugas maksimal dua kali periode. Adapun pembatasan usia pejabat tinggi negara maksimal 70 tahun. Maka dari itu, posisi Jiang Zemin sebagai Presiden RRT sekaligus Sekertaris-Jenderal PKT sudah habis masa jabatannya pada tahun 2002-2003, sehingga terjadi transisi yang lebih terstruktur sekaligus lebih sistematis dari pemimpin generasi ketiga menuju generasi keempat. Pada tahun 2002, Hu Jintao, Wakil Presiden RRT pada tahun 1998 hingga 2003 terpilih menjadi Sekertaris-Jenderal PKT dan pada tahun 2003 terpilih sebagai Presiden RRT. Hal tersebut tidak secara langsung menyatakan bahwa sudah berakhirnya generasi ketiga, karena pengaruh Jiang Zemin masih ada pada jabatan Ketua Komite Sentral Militer – yang menjadi jabatan Deng Xiaoping secara de jure sebagai pemimpin RRT – yang diemban hingga tahun 2004. Secara resmi, generasi keempat RRT dimulai sejak 19 September 2004 setelah Jiang Zemin resmi menanggalkan segala jabatan politiknya di dalam pemerintahan RRT.
Hu Jintao sebagai pemimpin utama generasi keempat pada awalnya tengah menghadapi permasalahan nasional yang cukup serius, seperti penyakit endemik Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang menjadi wabah penyakit seantero Tiongkok pada tahun 2002-2003, tepat ketika Hu Jintao baru mengemban tugas sebagai Sekertaris-Jenderal PKT dan Presiden RRT. Sebagai pemimpin utama generasi keempat, tentu saja Hu Jintao juga memiliki pemikiran sendiri terkait pembangunan RRT. Pemikiran Hu Jintao yang dijadikan landasan utama dalam pembangunan RRT adalah kexue fazhan guan (Konsep Pembangunan Ilmiah) yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan sosial, masyarakat humanistik, peningkatan demokrasi, dan akhirnya penciptaan kerukunan masyarakat. Relasi antara Hu Jintao dengan Chen Shui-bian memang tidak dapat dianggap sebagai relasi yang baik, namun setidaknya relasi RRT dengan Taiwan di bawah kepemimpinan Hu Jintao menjadi semakin membaik dan tidak memiliki permasalahan serius seperti yang terjadi pada tahun 1996. Hal yang monumental terkait relasi antara RRT dengan Taiwan adalah kunjungan Ketua KMT dan Mantan Wakil Presiden Republik Tiongkok, Lien Chan, ke RRT pada tahun 2005.[21] Hal tersebut menjadikan awal sejarah baru bagi relasi RRT dan Taiwan yang sebelumnya dibayang-bayangi permusuhan dan peperangan. Masa jabatan Hu Jintao beserta koleganya akan berakhir pada tahun 2012-2013, kemungkinan besar posisi generasi kelima akan diberikan kepada Xi Jinping, Wakil Presiden RRT periode 2008-2013.
Transisi Politik di Republik Tiongkok (Taiwan)
Republik Tiongkok pasca-1 Oktober 1949 merupakan negara yang tergusur dari Tiongkok daratan ke Pulau Taiwan di wilayah Laut Tiongkok Timur. Taiwan sendiri memiliki perjalanan historis yang cukup rumit terkait ikatannya dengan Tiongkok, karena sebelum menjadi bagian resmi daripada Dinasti Ming Selatan di bawah pimpinan Cheng Zhenggong pada abad ke-17, Taiwan sebenarnya sudah memiliki kerajaan lokal bernama Middag yang dihuni oleh Yuanzhumin atau aborigin Taiwan yang merupakan nenek moyang dari bangsa Austronesian serta pernah menjadi koloni dari kongsi dagang Portugis maupun Belanda.[22] Taiwan sempat terpisah selama 50 tahun dari genggaman Tiongkok melalui Traktat Shimonoseki pada 1895 antara Tiongkok – yang ketika itu masih merupakan Dinasti Qing – dengan Jepang yang menjadikan Taiwan sebagai salah satu koloni dari Jepang. Hubungan ini menjadikan Republik Tiongkok di bawah pemerintahan Chiang Kai-shek yang pada tahun 1930an hingga 1940an sedang berperang dengan Jepang menilai bahwa Taiwan merupakan wilayah yang dihuni oleh pengkhianat Tiongkok yang tidak perlu diklaim sebagai bagian daripada Tiongkok. Hal tersebut berubah setelah dibentuk Deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945 yang menjadikan Taiwan sebagai bagian integral dari Tiongkok setelah Jepang menyerah ke tangan sekutu.
Pada 28 Februari 1947, terjadi pemberontakan besar-besaran di Taiwan yang bersikap antipati terhadap pemerintahan Republik Tiongkok di bawah KMT yang dikenal dengan nama Peristiwa 228. Pada akhirnya, diberlakukan hukum darurat yang dikenal dengan nama baise kongbu shiqi (Teror Putih) yang diberlakukan sejak 19 Mei 1949 hingga 15 Juli 1987. Hal tersebut menciptakan relasi yang rumit antara pihak penduduk asli Taiwan (Tionghoa benshengren – kelahiran Taiwan – maupun aborigin Taiwan) dengan imigran yang berasal dari Tiongkok daratan – waishengren – yang lebih mendiskreditkan pihak yang pertama. Relasi yang rumit tersebut diperparah dengan mobilisasi birokrat maupun rakyat Tiongkok daratan yang pro-KMT dan Chiang Kai-shek secara masif pada tahun 1949 yang juga mendominasi perpolitikan maupun ekonomi Taiwan dalam jangka waktu yang cukup panjang – sejak tahun 1949 hingga 1986, bahkan hingga tahun 2000 untuk kemenangan partai oposisi Minjindang (DPP) atas dominasi KMT.[23] Dalam perpolitikan Taiwan sejak 1949, dapat dibagi ke dalam enam periode penting yang ditandai dengan peralihan kepemimpinan dan demokratisasi yang terkonsolidasi pada akhir 1980an hingga awal 1990an ketika secara ekonomi Taiwan telah menjadi salah satu negara industri maju yang mapan. Kepemimpinan pertama dimulai oleh Chiang Kai-shek hingga kini yang pimpin oleh Ma Ying-jeou.
Chiang Kai-shek menjadi pemimpin generasi pertama di Taiwan pasca-1949 yang memerintah dengan prinsip otoritarianisme birokratik pembangunan. Setelah mengalami kekalahan dengan kekuatan Komunisme di Tiongkok daratan, Amerika Serikat yang pada awalnya tidak terlalu memfokuskan diri pada restrukturisasi kawasan Asia menjadi semakin meningkatkan kesadarannya terhadap kawasan ini. Sejak tahun 1949, Taiwan mendapatkan perlindungan pertahanan dari pasukan Amerika Serikat yang memiliki pangkalan militer di Jepang. Selain itu, secara ekonomi Taiwan juga mendapatkan suntikan dana dari Amerika Serikat untuk meningkatkan kinerja industrialisasi padat karya untuk menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Taiwan secara pesat. Selain itu, pada era Chiang Kai-shek terdapat banyak ilmuwan-ilmuwan Tionghoa Taiwan yang dikirim untuk belajar ke Amerika Serikat dan membantu perkembangan teknologi di Taiwan dalam rangka menyempurnakan industrialisasi yang sedang giat dilaksanakan.
Kepemimpinan Chiang Kai-shek yang otoriter diteruskan oleh Yen Chia-kan selepas mangkatnya Chiang Kai-shek pada 5 April 1975. Tidak banyak perubahan yang dibawa oleh Yen Chia-kan selama pemerintahan hingga tahun 1978, sebelum akhirnya digantikan oleh putra dari Chiang Kai-shek, Chiang Ching-kuo pada 20 Mei 1978. Pada masa pemerintahan Chiang Ching-kuo, terdapat realisasi dari Tangwai Yundong (Gerakan Luar Partai) dalam rangka mendapatkan kursi di dalam parlemen Taiwan. Keberhasilan tersebut dilihat dari meningkatnya jumlah perolehan kursi dari Qingniandang (CYP) menjadi dua kursi pada hasil perolehan pemilihan umum tahun 1980 di dalam lifa yuan (Legislatif Yuan) dan perolehan satu kursi dari shehui minzhudang (Partai Sosialis-Demokrat) dalam guomin dahui (Dewan Nasional). Upaya yang paling monumental dalam periode Chiang Ching-kuo adalah pemberian izin kepada DPP – yang dikenal dengan istilah aliansi hijau dalam skala yang lebih besar, sebagai tandingan dari aliansi biru yang dipimpin oleh KMT – untuk berkontestasi pada pemilihan umum tahun 1986 dan penghapusan Teror Putih pada 15 Juli 1987. Hal tersebut menjadikan Taiwan memasuki periode demokratisasi yang menuju kemapanan dari yang sebelumnya otoriter.
Kepemimpinan generasi ketiga di bawah Chiang Ching-kuo berakhir setelah mangkatnya Chiang Ching-kuo pada 13 Januari 1988. Generasi keempat dalam kepemimpinan di Taiwan masih dipegang oleh KMT yang diwakili oleh Lee Teng-hui. Lee adalah seorang Tionghoa Taiwan bendisheng yang tidak terikat secara langsung dengan Tiongkok karena ayahnya sendiri lahir dan tumbuh besar di Taiwan. Pada era kepemimpinan Lee Teng-hui, demokratisasi di Taiwan sudah memasuki periode kemapanan, khususnya setelah diberlangsungkannya pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok tahun 1996 secara langsung yang dimenangkan oleh Lee Teng-hui.[24] Pada masa kepemimpinannya pula, Taiwan yang masif dalam kegiatan industri padat karya beralih menjadi industri menengah-atas dan tinggi seperti industri informasi dan tekonologi (IT) yang kiprahnya sangat mendunia. Pada kepemimpinan generasi keempat di Taiwan ini, secara ekonomi Taiwan telah menjadi negara maju yang memiliki basis industri sangat kuat juga salah satu negara yang memiliki cadangan devisa tertinggi di dunia. Meskipun demikian, secara politik justru Taiwan mengalami kemerosotan karena banyaknya pihak yang mengalihkan pengakuan resmi Satu Tiongkok dari Republik Tiongkok yang berada di Taipei kepada RRT yang berada di Beijing. Di sisi lain, relasi antara Taiwan dengan RRT juga mengalami pasang-surut yang cukup signifikan, misalnya dengan pernyataan berakhirnya Perang Sipil dari pihak Taiwan pada tahun 1991 dan penghapusan istilah Dongyuan Kanluan Shiqi Linshi Tiaokuan (Temporary Provisions Effective During the Period of Communist Rebellion) yang diberlakukan sejak 1949 hingga 1 Mei 1991. Di sisi lain, hubungan merenggang ketika Taiwan untuk pertama kalinya memilih Presiden Republik Tiongkok secara langsung pada tahun 1996, khususnya ketika RRT menembakan sejumlah rudal ke arah Selat Taiwan.
Pada masa Lee Teng-hui, perusahaan-perusahaan lokal Taiwan banyak yang melakukan relokasi industri padat karya yang membutuhkan jasa buruh murah dan berkualitas ke RRT atas dasar tekanan dari dalam negeri Taiwan sendiri. Investasi banyak dikerahkan pada sektor semi-konduktor dan sektor subsider dari komoditi teknologi tingkat tinggi yang menjadi komoditas ekspor utama dari Taiwan sebagai negara yang berorientasi ekspor. Berdasarkan data yang disadurkan oleh Baker and McKenzie International, Taiwan menjadi investor asing kedua terbesar di RRT setelah Hong Kong sejak tahun 1980an hingga kini dengan proporsi 25% dari keseluruhan Foreign Direct Investment (FDI) yang diperoleh oleh RRT. Hal tersebut bermula dari kebutuhan buruh murah dan berkualitas di RRT dan adanya kesamaan kultur antara Taiwan dengan RRT yang menunjang investasi secara masif selama hampir tiga dekade berturut-turut.[25]
Lee Teng-hui adalah sosok yang lebih pro-pada kemerdekaan Taiwan ketimbang pendahulu-pendahulunya yang lebih pro-pada reunifikasi Taiwan dengan Tiongkok. Hal tersebut kemudian dilanjutkan oleh partai pemenang pemilihan umum tahun 2000, DPP yang mengusung Chen Shui-bian sebagai Presiden Republik Tiongkok sebagai pemimpin generasi kelima di Taiwan. Generasi ini menjadi torehan sejarah Republik Tiongkok karena sejak era kepemimpinan Chiang Kai-shek, Republik Tiongkok adalah negara yang mendapatkan julukan dangguo atau negara partai yang dalam hal ini adalah KMT. Pada masa kepemimpinan Chen Shui-bian, relasi antara RRT dengan Taiwan semakin merenggang oleh karena kebijakan-kebijakan Chen Shui-bian yang lebih bersifat Taiwanisasi ketimbang upaya reunifikasi, seperti penganjuran agar seluruh perusahaan yang berada di Taiwan, baik Badan Usaha Milik Negara maupun Swasta yang menggunakan unsur Tiongkok (China dalam Bahasa Inggris) harus menamai ulang nama perusahaan mereka dengan tambahan kata “Taiwan” atau pun menggantinya sama sekali dengan kata Taiwan. Chen Shui-bian terpilih untuk yang kedua kalinya pada tahun 2004 sebagai Presiden Republik Tiongkok hingga berakhir masa jabatannya pada tahun 2008.[26] Chen Shui-bian sendiri pada akhirnya harus diadili dengan hukuman penjara seumur hidup pada 11 September 2009 atas tindakan penyuapan, penggelapan dan pencucian uang sebesar AS$ 15 juta selama masa jabatan 2000-2008. Hal tersebut sekaligus menjadikan Chen Shui-bian sebagai Presiden Republik Tiongkok pertama yang dijatuhi hukuman penjara setelah masa jabatan berakhir.
Melalui pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok pada tahun 2008, KMT kembali menguasai perolehan suara dan menjadikan Ma Ying-jeou sebagai Presiden Republik Tiongkok generasi keenam di Taiwan pasca-1949. Pada era kepemimpinan Ma Ying-jeou, relasi antara RRT dengan Taiwan mengalami progresivitas terbaik atas dasar kebijakan KMT yang lebih pro-pada pendekatan ekonomi dengan RRT ketimbang berkonfrontasi. Pada era kepemimpinan Ma Ying-jeou, dibentuk perjanjian ekonomi antara RRT dengan Taiwan yang dikenal dengan nama Liang’an Jingji Xieyi (Economic Cooperation Framework Agreement atau ECFA) pada tahun 2010.[27] Perjanjian ini mendapatkan tantangan keras dari pihak oposisi aliansi hijau yang dipimpin oleh DPP atas dasar pengalihan lapangan pekerjaan dari Taiwan ke RRT yang menyebabkan angka pengangguran di Taiwan tidak kunjung berkurang secara signifikan – 5,2% pada tahun 2010 dari 5,9% pada tahun 2009, bandingkan dengan 3,9% pada tahun 2007. Uniknya, sikap DPP – atau aliansi hijau secara keseluruhan – terkait pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok pada tahun 2012 kelak terhadap RRT adalah menjaga hubungan baik yang sudah terjalin, meskipun dalam kegiatan kampanye DPP yang mengusung Tsai Ing-wen lebih menunjukan basis pertumbuhan ekonomi yang pro-pada masyarakat Taiwan dalam program Taiwan Next yang menjadi jargon utama.[28]
Analisa Kasus: Transisi Politik dan Demokratisasi
Mengamati transisi politik yang terjadi di RRT maupun Taiwan, tentu saja dapat dilihat perbedaan yang terjadi di antara dua negara tersebut. Taiwan yang sedari awal sudah menerapkan sistem ekonomi pasar yang bebas mengalami proses pembangunan ekonomi yang relatif cepat – 1950an hingga 1980an – untuk menjadikannya sebagai salah satu negara industri maju di dunia. Dari pembangunan ekonomi yang pesat tersebut, tentu saja hal ini berkaitan dengan proses demokratisasi yang terjadi di Taiwan – dari sebuah negara otoritarianisme birokratik pembangunan menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Taiwan sejak tahun 1980an telah membuka keran demokratisasi yang memberikan kesempatan kepada pihak oposisi partai berkuasa, KMT untuk menduduki kursi legislatif. Selain itu, eksistensi DPP sebagai salah satu partai yang berbeda orientasi dengan KMT – DPP mendukung kemerdekaan Taiwan, sedangkan KMT mendukung reunifikasi dengan Tiongkok – yang semakin mencolok sejak masa Lee Teng-hui menyebabkan demokrasi di Taiwan telah berjalan dengan sangat baik, apalagi setelah DPP berhasil keluar sebagai partai pemenang pemilihan umum pada tahun 2000 dan 2004, mengalahkan KMT yang telah menjadi partai politik hegemonik di Taiwan selama lebih dari empat dekade pasca-1949.
Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa transisi demokrasi yang ada di Taiwan lebih didasarkan pada pendekatan institusionalis karena berdasarkan transisi politik yang ada, Taiwan mengalami perubahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara cukup signifikan, khususnya pasca-Yen Chia-kan yang mulai memperlihatkan tekanan-tekanan untuk demokratisasi dari pihak-pihak luar partai KMT yang mencoba untuk memperoleh aspirasi. Hal tersebut semakin berwujud sempurna ketika demokratisasi di Taiwan didukung oleh sosok generasi keempat – Lee Teng-hui – yang merupakan Tionghoa Taiwan benshengren yang tidak lagi bias pada kepentingan KMT dengan prinsip Satu Tiongkok-nya. Perubahan dalam relasi negara dan masyarakat yang memainkan peranan krusial dalam transisi demokrasi yang ada terlihat dengan pencabutan Hukum Darurat (Teror Putih) pada 15 Juli 1987 yang menunjukan bahwa state terrorism yang diberlakukan sejak Peristiwa 228 terhadap masyarakat sudah tidak dapat diberlakukan atas dasar penegakan demokrasi di tengah transisi politik yang ada. Kehadiran organisasi-organisasi masyarakat di Taiwan juga harus menjadi perhitungan yang mendukung pendekatan ini sebagai proses demokratisasi di Taiwan, yaitu kelompok penekan pemerintahan yang mendukung DPP ketika kampanye menjelang pemilihan umum pada Maret 2000. DPP juga dikenal sebagai partai yang menjalin relasi kuat dengan organisasi-organisasi masyarakat yang berbasis keagamaan dan ekonomi sektor agraria, seperti pertanian, perikanan dan kehutanan.[29]
Berbeda dengan RRT yang sebelumnya menerapkan sistem ekonomi komando, transisi politik yang terjadi pasca-1978 adalah transisi politik yang berbasiskan sistem ekonomi pasar. Perkembangan demokratisasi yang terjadi di dalam negara yang menganut sistem partai tunggal dominatif seperti RRT, khususnya pada tahun 1989 melalui upaya demokratisasi yang dilancarkan oleh sekelompok akademisi lebih condong pada pendekatan ekonomi politik, meskipun cenderung gagal. Beberapa faktor dalam pendekatan ini sesuai dengan kondisi yang terjadi dalam upaya demokratisasi, misalnya faktor eksternal – kemunduran sistem pemerintahan Komunisme negara-negara Blok Timur – yang menunjang gerakan demokratisasi di RRT yang juga berhaluan Komunisme, meskipun berbeda dengan sebagian besar negara Komunis lain yang berkiblat pada Uni Soviet. Di sisi lain, inflasi hingga 19% pada tahun 1988 di RRT menyebabkan ketidakpuasan masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah dan miskin, terhadap kinerja pemerintahan yang berkuasa. Uniknya, gerakan tersebut tidak berhasil menumbangkan kekuatan pemerintahan RRT atas dasar dukungan yang kuat dari militer RRT dan basis pertumbuhan ekonomi RRT yang tidak rendah, apalagi negatif.
Kecenderungan demokratisasi lain yang terjadi dalam skenario RRT di masa mendatang dapat dilihat dari perspektif pemerintah RRT sendiri yang lebih bersifat strukturalis. Salah satunya adalah janji sistem multi-partai yang tertulis dalam Buku Putih Demokrasi Politik yang diluncurkan pada tahun 2005 pada waktu yang tidak ditentukan, namun akan diupayakan untuk diwujudkan.[30] Selain itu, Deng Xiaoping juga menjanjikan pemilihan langsung skala nasional untuk memilih Presiden dan koleganya dalam Komite Sentral pada tahun 2037 ketika sedang diselenggarakan Kongres Partai ke-13 pada tahun 1987.[31] Selain itu, sejak reformasi ekonomi dan keterbukaan, di tingkat desa RRT juga sudah diberlangsungkan pemilihan umum untuk memilih kepala desa secara langsung yang diselenggarakan tiga tahun sekali di tingkat xian (distrik). Tentu saja upaya demokratisasi yang disponsori oleh pemerintah RRT ini berkaitan dengan pra-syarat kondisi sosial ekonomi masyarakat RRT yang dalam asumsi pemerintah RRT dalam jangka waktu tertentu akan memasuki tahap ekonomi yang mapan. Fakta ini dapat terlihat dari perkembangan perekonomian masyarakat RRT yang meningkat dengan signifikan selama reformasi ekonomi dan keterbukaan tahun 1978 hingga 2010 yang menunjukan bahwa pada masa kini masyarakat RRT secara keseluruhan telah termasuk dalam masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas (AS$ 4.382).[32] Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, masyarakat RRT kemungkinan besar dapat menjadi masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi pada tahun 2037 yang mengisyaratkan status sosial, pendidikan, pekerjaan dan ekonomi yang tentunya semakin lebih baik. Hanya saja hal ini masih sebatas prediksi masa depan yang tidak dapat dinyatakan dengan tegas hasil pasti yang dapat diperoleh dari demokratisasi RRT tersebut.
Penutup
Sebagai dua negara yang memiliki peranan penting di Asia maupun global, RRT dan Taiwan adalah dua negara yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dalam hal transisi politik dan arahan menuju demokrasi. Tentu saja, dua negara ini adalah negara yang sebenarnya memiliki entitas yang berbeda atas dasar politik yang mencoba tarik-menarik pengaruh dalam memperoleh pengakuan Satu Tiongkok oleh dunia. Meskipun sejauh ini RRT merupakan negara yang paling banyak diakui sebagai Tiongkok yang berdaulat, hal tersebut tidak menunjukan bahwa Taiwan berada dalam posisi yang pariah, karena dengan pengakuan internasional yang terbatas – 23 negara – Taiwan masih mampu menjadi salah satu negara industri maju di dunia dengan tingkat demokrasi yang mapan.
Transisi politik di RRT dan Taiwan sebenarnya sangat menunjukan bahwa dalam setiap generasi kepemimpinan terdapat perubahan-perubahan yang cukup signifikan terkait kebijakan dalam negeri maupun relasi antara RRT dengan Taiwan itu sendiri. Pada masa kini, kedua negara telah menunjukan relasi yang sangat kondusif di tengah pemerintahan yang lebih pengertian dalam menjalin hubungan baik. Pihak oposisi di Taiwan, aliansi hijau yang diketuai oleh DPP memainkan peranan yang lebih halus terkait hubungan RRT dengan Taiwan karena relasi yang sudah mengakar kuat dalam dunia bisnis kedua negara tentu menjadi penghalang besar bagi DPP untuk bersikap konfrontatif dalam upaya memperoleh kemerdekaan dari RRT sebagai negara Taiwan yang berdaulat.
Pada akhirnya, transisi politik di RRT dan Taiwan juga berkaitan erat dengan demokratisasi yang terjadi. Meskipun di RRT hingga kini masih menerapkan sistem politik partai tunggal dominatif di bawah kekuasaan PKT yang otoriter, namun jika dibandingkan pada masa pra-1978, RRT telah menjadi lebih demokratis pada masa kini, khususnya dengan pembatasan masa jabatan dan periode jabatan dan pemilihan umum langsung di tingkat desa. Berbeda dengan Taiwan yang sudah menjadi negara demokratis yang terkonsolidasi sejak tahun 1996 melalui pemilihan umum Presiden Republik Tiongkok secara langsung, Taiwan adalah contoh dari transisi politik yang menghasilkan kesuksesan demokratisasi di tengah kemapanan ekonomi yang bertumbuh melalui otoritarianisme birokratik pembangunan pada masa pasca-1949 hingga 1980an.
(Tugas Persentasi Mata Kuliah Politik di Asia Timur Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tahun Akademik 2011/2012. Penulis berada satu tim yang terdiri dari Brian Wijanarko, Emmanuela Sabatini, Marsha Javiera, Samuel Pablo Ignasius Pareira,  Reyhan Fadila dan Rilla Oktoviami Zef.)

[1] Guo Sujian, “Democratic Transition: A Critical Overview” dalam Issues & Studies 35, No. 4 (July/August 1999), hlm. 135
[2] ibid., hlm. 136
[3] ibid., hlm. 137
[4] ibid., hlm. 139
[5] Informasi diperoleh dari situs resmi Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok (http://www.fmprc.gov.cn/eng/gjhdq/) dan Kementerian Luar Negeri Republik Tiongkok (http://www.mofa.gov.tw/webapp/lp.asp?ctnode=1864&ctunit=30&basedsd=30&mp=6). Diakses pada 19 November 2011 pukul 07.13 WIB dan 07.18 WIB
[6] John K. Fairbank dan Edwin O. Reischauer, China: Tradition and Transformation (Taipei: Caves Books, Ltd., 1986), hlm. 452
[7] Erik Durschmied, Beware The Dragon: China: 1,000 Years of Bloodshed (London: Andre Deutsch, 2008), hlm. 183
[8] Jung Chang dan John Halliday, Mao: The Unknown Story (London: Vintage, 2007), hlm. 163
[9] Sanmin Zhuyi adalah pemikiran yang diciptakan oleh Dr. Sun Yat-sen (Sun Wen) yang mencakup minsheng (kesejahteraan sosial), minzhu (nasionalisme) dan minquan (demokrasi). Lihat Sun Wen, Sanmin Zhuyi (Nanjing: Hanwen Huigong Zangshu, 2010), hlm. 8-12
[10] Jung Chang dan John Halliday, op. cit., hlm. 528
[11] Deng Xiaoping, Deng Xiaoping Xuanji 3 (Beijing: Renmin Chubanshe, 1993), hlm. 134
[12] Jonathan Story, China: The Race to Market (London: Prentice Hall, 2003), hlm. 187
[13] Philip Pan, Out of Mao’s Shadow: The Struggle for the Soul of a New China (Oxford: Picador, 2008), hlm. 9
[14] Deng Xiaoping, op. cit., hlm. 292
[15] Treasury Pulse, “Settlement Program Next Step Toward Making Renminbi a Global Currency” (Summer, 2009), hlm. 2
[16] Penyerahan kedaulatan Hong Kong dari Inggris Raya kepada RRT dilakukan pada 1 Juli 1997. Lihat Erik Durschmied, op. cit., hlm. 291 dan Martin Jacques, When China Rules The World: Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), hlm. 76
[17] Tao Wenzhao, “Time for US to stop arms sales” (http://www.chinadailyapac.com/article/time-us-stop-arms-sales). Diakses pada 1 Desember 2011, pukul 18.33 WIB.
[18] Li Lanqing, Breaking Through: The Birth of China’s Opening-Up Policy (Hong Kong: Oxford University Press), hlm. 150
[19] Qinghua adalah salah satu universitas terbaik di RRT yang didirikan sejak tahun 1911. Berlokasi di Beijing, sejauh ini Qinghua merupakan universitas yang paling banyak mencetak kader politisi RRT yang umumnya adalah kaum teknokrat. Presiden Hu Jintao adalah salah satu alumni dari Qinghua.

[20] “Chinese President Jiang Zemin's Eight-Point Offer to Taiwan” (http://ken_davies.tripod.com/jiang8points.html). Diakses pada 19 November 2011, pukul 15.11 WIB.

[21] Chang Wu-ueh dan Chien-min Chao, “Managing Stability in the Taiwan Strait: Non-Military Policy towards Taiwan under Hu Jintao” dalam Journal of Current Chinese Affairs, Vol. 38, No. 3 (2009), hlm. 100
[22] Nama lain Pulau Taiwan, Formosa, berasal dari Bahasa Portugis yang memiliki arti indah. Lihat John K. Fairbank dan Edwin O. Reischauer, op. cit., hlm. 239
[23] Melissa J. Brown, Is Taiwan Chinese: The Impact of Culture, Power, and Migration on Changing Identities (London: University of California Press, 2004), hlm. 10
[24] Richard C. Kagan, Taiwan’s Stateman: Lee Teng-hui and Democracy in Asia (Annapolis: Naval Institute Press, 2007), hlm. 27
[25] ibid, hlm. 218
[26] Informasi diperoleh dari http://www.ibiblio.org/chinesehistory/contents/06dat/bio.5roc.html. Diakses pada 19 November 2011, pukul 14.23 WIB.
[27] Informasi diperoleh dari situs resmi Liangan Jingji Xieyi (http://www.ecfa.org.tw/). Diakses pada 19 November 2011, pukul 14.36 WIB.
[28] Informasi diperoleh dari situs resmi kampanye Tsai Ing-wen Taiwan Next (http://iing.tw/). Diakses pada 19 November 2011, pukul 15.01 WIB.
[29] Lin Teh-chang, Transforming State-Society Relations: The Challenge, Dilemma and Prospect of Civil Society in Taiwan. (Kaoshiung: National Sun Yat-sen University, 2005), hlm. 36.
[30] Sistem multi-partai ini masih mengalami bias Partai Komunis Tiongkok (PKT) karena mengharuskan seluruh partai yang ada mengikuti arahan dari PKT sebagai landasan berpolitik. Lihat situs China Daily (http://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-10/19/content_486206.htm) untuk informasi lebih lanjut. Diakses pada 19 November 2011, pukul 18.02 WIB.
[31] Deng Xiaoping menjanjikan pemilihan umum skala nasional akan diberlangsungkan di RRT 50 tahun ke depan, terhitung sejak kata-kata tersebut dilontarkan pada tahun 1987. Lihat Tim Luard, “China village democracy skin deep” (http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4319954.stm). Diakses pada 19 November 2011, pukul 17.57 WIB.
[32] Klasifikasi ekonomi tersebut berdasarkan pada klasifikasi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2010. Masyarakat perekonomian rendah merupakan masyarakat yang berada pada per kapita di bawah AS$ 1.005. Masyarakat perekonomian menengah ke bawah merupakan masyarakat yang berada pada per kapita antara AS$ 1.006 – AS$ 3.975. Masyarakat perekonomian menengah ke atas merupakan masyarakat yang berada pada per kapita antara AS$ 3.976  – AS$ 12.275. Masyarakat perekonomian tinggi merupakan masyarakat yang berada pada per kapita di atas AS$ 12.276. Lihat situs Bank Dunia (http://data.worldbank.org/about/country-classifications/country-and-lending-groups) untuk informasi lebih lanjut. Diakses pada 19 Novembver 2011, pukul 18.11 WIB.

没有评论:

发表评论