2012年1月18日星期三

印尼語作文:INDONESIA MENUJU VISI 2025: ULASAN TERHADAP MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI) DALAM GLOBALISASI EKONOMI



Pada tahun 2007, masyarakat Indonesia mendapatkan sebuah sosialisasi informasi pasca-disahkannya UU No. 17 tahun 2007 terkait Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 melalui Yayasan Indonesia Forum yang cukup terkenal: Visi Indonesia 2030. Dalam visi ini, terdapat perdebatan yang ramai di media massa maupun media elektronik nasional terkait optimisme maupun pesimisme terhadap Visi Indonesia 2030 yang di dalamnya mencakup kinerja perekonomian Indonesia menuju negara maju yang juga unggul dalam pengelolaan sumber daya alam.[1] Belum genap satu dasawarsa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32 tahun 2011 yang dikeluarkan pada 20 Mei 2011 mencetuskan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang kurang-lebih menekankan pada visi yang sama dengan Visi Indonesia 2030, yaitu merencanakan pembangunan ekonomi Indonesia menuju negara maju pada tahun 2025, lima tahun lebih awal dari Visi Indonesia 2030 yang dicetuskan oleh Yayasan Indonesia Forum empat tahun sebelumnya.[2]
Tentu saja dalam hal ini, kita dapat memperdebatkan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan semata atau pemerataan ekonomi yang tentunya berkaitan dengan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia, sebuah negara yang sampai tahun 2011 masih berada dalam status negara berkembang bukan industri baru di dunia, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menunjukan angka yang cukup spektakuler di dunia yang sedang mengalami resesi ekonomi berkelanjutan sejak tahun 2008. Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilansir oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011, Indonesia masih menduduki peringkat ke-124 dengan skor 0,617. Peringkat ini jauh berada di bawah negara-negara industri baru, seperti Thailand (peringkat ke-103 dengan skor 0,682), Republik Rakyat Tiongkok (peringkat ke-101 dengan skor 0,687), Brasil (peringkat ke-84 dengan skor 0,718), Rusia (peringkat ke-66 dengan skor 0,755) dan Malaysia (peringkat ke-61 dengan skor 0,761). Dalam laporan ini memang India masih berada di peringkat yang lebih rendah dari Indonesia – peringkat ke-134 dengan skor 0,547 – meskipun India dikategorikan sebagai salah satu negara industri baru dengan laju pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dan industrialisasi yang masif.[3]
Melihat MP3EI dalam meneropong masa depan Indonesia menuju negara maju melalui serangkaian faktor yang melatarbelakanginya, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari pemikiran terhadap pembangunan suatu negara yang terkenal: modernisasi. Teori modernisasi diperkenalkan kepada publik oleh cukup banyak akademisi, salah satunya adalah W.W. Rostow yang memperkenalkan lima fase utama dalam membangun perekonomian suatu negara yang diyakininya sebagai fase linear – yang artinya tidak akan kembali lagi ke fase yang sudah dilalui sebelumnya. Fase pertama adalah masyarakat tradisional, yang kemudian mengalami kemajuan hingga fase kedua, yaitu pra-kondisi untuk lepas landas. Dari fase kedua ini, terjadi lagi transformasi menuju fase ketiga, tinggal landas. Fase tinggal landas yang berkembang menjadi lebih maju menjadikan pembangunan berada pada fase keempat, yaitu menuju kedewasaan. Fase keempat yang secara harafiah dinamakan sebagai fase menuju kedewasaan ini tentu belum memasuki tahap maju atau dewasa secara seutuhnya, sehingga ketika masyarakat di dalam suatu negara sudah memasuki tahap kedewasaan tersebut dalam pembangunannya, fase terakhir – fase kelima – dalam pembangunannya disebut sebagai fase konsumsi tingkat tinggi.[4]
Pada fase pertama, masyarakat dalam suatu negara masih dapat dikatakan sebagai masyarakat tradisionalis. Masyarakat ini secara pendidikan masih belum menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan yang progresif. Hal tersebut berimplikasi pada kepercayaan masyarakat tradisionalis ini pada kekuatan-kekuatan supranatural yang tunduk pada alam dan  belum mampu menguasai alam secara seutuhnya. Tentu saja, dalam  masyarakat seperti ini, tingkat produktivitas masih sangat rendah, masyarakat yang ada di dalam lingkungan seperti ini masih bersifat eksklusif dan statis. Mobilitas secara vertikal masih sangat sulit ditemukan. Pada akhirnya, perubahan sangat sulit ditemukan dan sangat lambat.[5] Fase selanjutnya adalah fase pra-kondisi untuk lepas landas. Masyarakat yang tadinya sangat tradisionalis mulai mentransformasikan dirinya menuju suatu kemajuan. Hal ini biasanya disebabkan oleh intervensi dari bangsa lain yang lebih maju terhadap bangsa yang bersangkutan. Menurut Rostow, perubahan ini tidak terjadi dengan sendirinya, mengingat masyarakat tradisionalis tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Dari intervensi semacam inilah, masyarakat yang tadinya tradisionalis terguncang dan mulai  mengembangkan ide-ide pembaharuan. Pada periode ini, usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi. Tabungan kemudian dijadikan sebagai media investasi dalam sektor-sektor produktif yang  menguntungkan. Pada akhirnya, segala jenis usaha untuk meningkatkan produksi demi keuntungan mulai bergerak pada periode ini.[6]
Dalam kegeliatan produksi demi keuntungan, masyarakat  mulai menghadapi permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan ekonomi nasionalnya. Fase ini adalah fase tinggal landas yang pada periode ini, tabungan dari investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan  nasional. Pembangunan industri sangat pesat dilaksanakan, sehingga keuntungan yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun pabrik baru. Dari hal seperti inilah lahir berbagai macam unsur yang menghambat, baik dari internal maupun eksternal. Inflasi, korupsi, inefisiensi, pencemaran, dan sebagainya lahir pada masa ini. Penanggulangan yang efektif dapat  menjadikan transformasi pembangunan ke fase selanjutnya yang lebih modern, yaitu menuju kedewasaan.[7] Pada fase menuju kedewasaan ini, sekitar 10-20% pendapatan akan diinvestasikan kembali. Hal tersebut dilakukan untuk menanggulangi permasalahan pertumbuhan penduduk yang berbanding tidak sama dengan pertumbuhan produksi. Kepesatan industri yang berkembang menempatkan negara ini menjadi pemain ekonomi global yang signifikan, khususnya dalam kegiatan ekspor-impor komoditas. Perkembangan industri pada fase ini tidak sebatas pada  teknik-teknik produksi, tetapi juga meliputi varian komoditas dan sebagainya.[8]
Melalui makalah singkat ini, penulis akan mencoba menelaah lebih lanjut terkait program yang terdapat dalam MP3EI yang juga terkait dengan visi menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara maju di dunia. Meskipun MP3EI merupakan salah satu program yang relatif baru dan masih membutuhkan 14 tahun ke depan untuk melihat evaluasi yang sesungguhnya, namun basis-basis yang menjadi perhatian dalam MP3EI ini dapat penulis telusuri lebih lanjut untuk memahami probabilitas keberhasilan dan sasaran utama dari MP3EI ini. Dalam sebuah pertanyaan penelitian dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan sebagai berikut Bagaimana MP3EI mampu menjadi salah satu tolak ukur pembangunan ekonomi Indonesia di tengah globalisasi yang semakin gencar di dunia kontemporer ini?
Selayang-Pandang MP3EI
Sebagai salah satu program resmi pemerintah, tentu MP3EI tidak dapat disepelekan dalam rangka memahami konstelasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia di tengah dunia yang semakin dinamis. Setelah mengalami keterpurukan ekonomi melalui krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis multidimensional pada tahun 1997-1998, Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi semakin mencolok ketika dunia, khususnya negara-negara industri maju tengah mengalami krisis ekonomi yang tidak kunjung usai hingga tahun 2011 kini, yang mengalami penurunan laju pertumbuhan ekonomi dan muncul pesimisme-pesimisme terhadap kinerja perekonomian negara-negara mereka di masa mendatang, Indonesia bersama negara-negara industri baru seperti Republik Rakyat Tiongkok, India, Malaysia dan sebagainya justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dan signifikan dalam rangka menepis sebagian dampak-dampak dari krisis global yang melanda dunia yang tentu saja tidak terelakan bagi semua negara di dunia.[9]
Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang signifikan sebesar rata-rata 4% hingga 6% sejak tahun 2000  hingga tahun 2011 kini, setelah pada tahun 1998 mengalami penurunan ekonomi hingga 13,1% dan pertumbuhan ekonomi yang kurang signifikan pada tahun 1999 – sebesar 0,8%.[10] Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini ditopang dari kegiatan perdagangan Indonesia yang berbasiskan ekspor bahan baku atau sektor hulu yang masih menjadi fokus Indonesia dalam rangka perdagangan internasional. Selain basis ekspor bahan baku, tingkat konsumsi Indonesia juga menjadi salah satu faktor utama sebagai pengerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Hal itu dikarenakan jumlah kelas menengah di Indonesia, termasuk negara-negara industri baru lainnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam rangka pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[11]
Dalam program MP3EI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melihat adanya lima permasalahan utama dalam kegiatan perekonomian Indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini, kelima permasalahan tersebut antara lain:[12]
1.      Birokrasi yang menghambat dan tidak sejalan;
2.      Sikap pemerintah daerah yang mempunyai kepentingan sendiri dan cenderung menghambat jalannya perekonomian khususnya nanti MP3EI ini;
3.      Pengusaha atau investor yang ingkar janji terhadap komitmen investasinya;
4.      Adanya regulasi yang menghambat jalannya perekonomian dan tidak segera diperbaiki; dan 
5.      Adanya kepentingan dan proses politik yang tidak sehat.
Mempertimbangkan lima permasalahan yang diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, terdapat beberapa strategi yang akan digunakan dalam rangka membentuk MP3EI yang mampu menunjang visi yang dicapai. Meskipun terkesan normatif, penulis akan menjabarkan keseluruhan dari strategi yang ada dalam MP3EI ini untuk menjadi dasar dalam analisis terhadap MP3EI itu sendiri.
Strategi paling awal dalam mengoperasionalisasikan MP3EI adalah pengembangan potensi melalui enam koridor ekonomi yang dilakukan dengan cara mendorong investasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Swasta Nasional dan Foreign Direct Investment (FDI) dalam skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama. Penyelesaian berbagai hambatan akan diarahkan pada kegiatan ekonomi utama sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan realisasi investasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi di enam koridor ekonomi. Berdasarkan potensi yang ada, maka sebaran sektor fokus dan kegiatan utama di setiap koridor ekonomi, diantaranya sebagai berikut:[13]
1.    Sumatera
 :
Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Besi-Baja
2.      Jawa
 :
Industri Makanan Minuman, Tekstil, Permesinan, Transportasi,   Perkapalan, Alat Utama Sistem Senjata (alutsista), Telematika
3. Kalimantan
 :
Kelapa Sawit, Batubara, Alumina/Bauksit, Migas, Perkayuan, Besi-Baja
4.     Sulawesi
 :
Pertanian Pangan, Kakao, Perikanan, Nikel, Migas
5. Bali dan Nusa Tenggara 
 :
Pariwisata, Peternakan, Perikanan
6. Papua dan Maluku
 :
Tembaga, Peternakan, Perikanan, Migas, Nikel
Ada pun strategi kedua yaitu memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi kinerja sektor riil. Untuk itu akan ditetapkan jadwal penyelesaian masalah peraturan nasional dan infrastruktur utama nasional. Menurut laporan Menko Perekonomian, berdasarkan hasil diskusi dengan para pemangku kepentingan, khususnya dunia usaha, teridentifikasi sejumlah regulasi dan perizinan yang memerlukan perluasan jalur (debottlenecking) yang meliputi:[14]
1.      Mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang.
2.      Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik ditingkat pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga.
3.      Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung strategi MP3EI, seperti bea keluar beberapa komoditi.
4.      Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan utama yang sesuai dengan strategi MP3EI.
5.      Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perizinan.
Elemen penting dari strategi kedua ini adalah:[15]
1.      Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan utama untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman.
2.      Memperluas pertumbuhan dengan menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat pertumbuhan melalui inter-modal supply chain systems.
3.      Menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur & pelayanan dasar dalam menyebarkan manfaat pembangunan secara luas.
Strategi terakhir dalam MP3EI adalah pengembangan Center of Excellence di setiap koridor ekonomi. Dalam hal ini akan didorong pengembangan sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sesuai kebutuhan peningkatan daya saing. Percepatan transformasi inovasi dalam ekonomi yang dilakukan melalui:[16]
1.      Pengembangan modal manusia berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi secara terencana dan sistematis.
2.      Memasukkan unsur Sistem Inovasi Nasional (SINAS) dan berbagai upaya transformasi inovasi dalam kegiatan ekonomi.
Adapun Inisiatif Strategiknya adalah sebagai berikut:[17]
1.      Revitalisasi Puspitek sebagai Science and Technology Park.
2.      Pengembangan Industrial Park.
3.      Pembentukan klaster inovasi daerah untuk pemerataan pertumbuhan.
4.      Pengembangan industri strategis pendukung konektivitas.
5.      Penguatan aktor inovasi (SDM dan Inovasi).
Analisis Prospek MP3EI dalam Globalisasi Ekonomi
Program MP3EI pada dasarnya melihat keseluruhan karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada dalam posisi baik untuk menjadi negara maju di masa mendatang. Hal ini erat kaitannya dengan pengalaman negara-negara industri maju Asia terkini yang tergabung dalam Empat Macan Asia – Singapura, Hong Kong, Republik Tiongkok (Taiwan) dan Korea Selatan – yang juga pada tahun 1960an hingga menjadi negara-negara maju pada tahun 1990an mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di tengah gencarnya industrialisasi yang dilakukan oleh negara-negara Empat Macan Asia tersebut. Melihat keberhasilan negara-negara Empat Macan Asia dalam hal mentransformasikan diri dari sebuah negara berkembang menjadi negara industri maju, tentu saja negara-negara lain di wilayah Asia yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi serupa dengan negara-negara Empat Macan Asia pada tahun 1960an hingga 1990an melihat bahwa ada probabilitas yang sama antara negara-negara Empat Macan Asia tersebut dengan negara-negara industri baru dan berkembang yang ada di Asia pada masa kini. Tentunya, Indonesia pun dapat dikategorikan dalam klasifikasi yang memungkinkan untuk menjadi negara maju dengan pra-syarat yang dimiliki.[18]
Hal ini senada dengan teori modernisasi yang menjadikan negara-negara yang sebelumnya berada dalam posisi yang lebih terbelakang atau berkembang menuju negara-negara industri maju melalui indikator-indikator yang inheren di dalam negara-negara tersebut. Teori ini terbukti berhasil diterapkan di dalam negara-negara Empat Macan Asia yang sebelumnya berada dalam kategori sebagai negara berkembang menuju negara-negara industri maju di dunia. Hal tersebut tidak terlepas dari indikator-indikator yang ada, misalnya dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat yang sudah berada pada level yang sejajar dengan negara-negara industri lainnya, juga dilihat dari tingkat konsumsi maupun industrialisasi negara-negara Empat Macan Asia – atau sektor jasa untuk Singapura dan Hong Kong – yang tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu alasan utama yang menjadikan teori modernisasi berhasil menjawab progresivitas negara-negara berkembang menjadi negara-negara maju.[19] Teori modernisasi sendiri juga pada akhirnya mampu mematahkan teori dependensia atau ketergantungan yang melihat negara-negara berkembang yang non-industri akan selamanya bergantung pada negara-negara industri.[20]
Indonesia pada abad ke-21 ini memasuki fase industrialisasi yang cukup signifikan, meskipun survei dari banyak lembaga tidak menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara industri baru di dunia. Meskipun demikian, Indonesia dengan indikator-indikator ekonomi yang ada masih baru akan berada pada posisi tinggal landas atau modernisasi tahap ketiga yang membutuhkan dua tahapan lagi untuk menuju negara industri maju.[21] Meskipun masih berada di bawah negara-negara industri baru yang sudah berada dalam posisi fase menuju kedewasaan atau modernisasi tahap keempat, Indonesia telah menunjukan progresivitas yang baik dalam hal stabilitas nasional yang menjamin investasi domestik maupun asing, sehingga lembaga pemeringkat kredit internasional, seperti Fitch menaikan posisi Indonesia dari yang sebelumnya BB+ (yang menandakan bahwa resiko investasi relatif tinggi atas dasar perhitungan stabilitas nasional, jaringan infrastruktur dan sebagainya) menjadi BBB-, atau dengan kata lain berada pada posisi yang sama dengan India yang pernah diraih oleh Indonesia pada masa pra-krisis finansial Asia 1997-1998.[22]
Jika kita menelaah angka statistik secara cermat, meskipun pendapatan per kapita Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama kurun waktu lima tahun terakhir (2006-2011) yang diiringi dengan laju pertumbuhan angka Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia yang pada tahun 2011 kini berada pada posisi ke-18 sebagai negara dengan tingkat PDB terbesar di dunia, angka kemiskinan absolut Indonesia – populasi yang berpenghasilan di bawah AS$ 1,25 per hari – masih relatif tinggi, yaitu sekitar 29,4% dari keseluruhan populasi Indonesia.[23] Begitu pula dengan angka melek huruf Indonesia yang dalam persentase tergolong tinggi – 92% pada tahun 2005 – namun ternyata sekitar 60% dari populasi Indonesia hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar, ketika jumlah sarjana di Indonesia hanya berjumlah 8% dari populasi Indonesia secara keseluruhan, jumlah yang tentunya relatif tertinggal dengan negara-negara industri baru.[24] Terkait remunerasi atau pendapatan masyarakat Indonesia, pada dasarnya Indonesia masih merupakan negara dengan standar gaji minimum yang rendah – belum memperhitungkan pembayaran gaji yang berada di bawah standar gaji minimum yang cukup signiifikan bagi pekerjaan informal. Berdasarkan analisis Bank Dunia, perolehan gaji buruh di Indonesia yang dilihat dari Indeks Biaya Satuan Buruh berada di bawah Republik Rakyat Tiongkok (AS$ 175 per bulan) yang terkenal dengan upah buruh murah dan berkualitasnya, India (AS$ 150 per bulan) dan bahkan Vietnam (AS$ 125 per bulan) dengan rata-rata AS$ 120 per bulan.[25]
Tentu saja jika kita dengan cermat mengamati statistik-statistik yang ada di Indonesia, sangat jelas tergambarkan posisi Indonesia yang cukup sulit untuk menanjak hingga sejajar dengan negara-negara industri baru lainnya yang dalam hal pendidikan, remunerasi, angka kemiskinan, kesehatan dan sebagainya berada di atas Indonesia. Dengan remunerasi yang lebih rendah dari Republik Rakyat Tiongkok, India dan bahkan Vietnam, Indonesia seharusnya mampu menjadi daya tarik yang kuat bagi investasi asing maupun domestik untuk semakin lebih gencar dalam industrialisasi yang sesuai dengan visi dalam MP3EI. Hanya saja dalam praktiknya, terdapat kendala yang cukup signifikan dalam menarik investasi di Indonesia, khususnya jika dikaitkan dengan jaringan infrastruktur Indonesia yang masih jauh tertinggal ketimbang negara-negara industri baru. Sebagai ilustrasi sederhana, jaringan listrik di Indonesia hanya sebesar 60,1% yang jelas tertinggal jauh dengan Republik Rakyat Tiongkok yang sudah mencakup 99% wilayahnya yang hampir lima kali lebih luas dari Indonesia.[26] Selain urusan infrastruktur, Indonesia juga memiliki kendala yang cukup besar dalam hal birokrasi yang efisien dan bersih, mengingat dalam Indeks Kemudahan Berbisnis, Indonesia sekali lagi tertinggal dari Republik Rakyat Tiongkok (peringkat ke-79) dengan pencapaian peringkat ke-121.[27]
Dalam hal percepatan ketersediaan infrastruktur, pemerintah pada akhir tahun 2011 mengesahkan UU Pengadaan Tanah yang tentu saja berkaitan dengan pencapaian visi MP3EI pada tahun 2025. Tentu saja hal ini harus dikritisi lebih lanjut mengenai prospek penjaminan masyarakat kelas bawah yang kemungkinan besar akan menjadi korban dari proyek pengadaan infrastruktur pemerintah ini. Jangan sampai demi tercapainya visi pemerintah yang akan membawa Indonesia menjadi salah satu negara maju di dunia berbenturan dengan semangat menyejahterakan masyarakat kelas bawah yang justru akan semakin mengantarkan Indonesia pada jurang kesenjangan ekonomi yang cukup lebar. Permasalahan ini ditemukan di negara-negara industri baru yang ada, seperti Republik Rakyat Tiongkok, Brasil, Malaysia dan Thailand, ketika indeks kesenjangan – Gini – negara-negara tersebut menunjukan hasil yang mengkhawatirkan dari tahun ke tahun, meskipun jumlah kelas menengah dan pendapatan nasional rata-rata meningkat secara signifikan.[28]
Terakhir, berkaitan dengan strategi yang terdapat di dalam MP3EI dalam hal industrialisasi, adalah suatu ironi bagi Indonesia di tengah konsumsi yang semakin tinggi terhadap produk bernilai lebih (value-added products), persaingan produk-produk yang terjual di pasar Indonesia masih mayoritas dikuasai oleh produsen asing yang tentu saja menyingkirkan potensi Indonesia dalam melakukan hal serupa di pasar internasional. Pemerintah Indonesia seharusnya lebih mampu mendukung usaha kecil dan menengah serta industri-industri besar nasional yang ada di Indonesia dalam rangka persaingan dengan produk-produk asing di tengah globalisasi ekonomi. Memang secara legal-formal dalam perdagangan bebas tidak diperkenankan intervensi pemerintah untuk melakukan proteksi terhadap industri lokal menghadapi gempuran produk asing, namun secara de facto yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, ketika Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat justru saling mengkritik proteksi yang dilakukan dalam rangka berkompetisi antara satu dengan yang lain.[29]
Sebagai ilustrasi, konsumen Indonesia terhadap kendaraan bermotor dapat dikategorikan sebagai konsumen vital bagi produsen-produsen asing, khususnya Jepang, dengan tingkat penjualan mobil maupun sepeda motor yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Akan tetapi, hingga tahun 2011 kini belum ada satu pun merek mobil maupun sepeda motor lokal Indonesia yang beredar di pasar Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara industri baru yang menerapkan sistem merger and acquisition (M&A) terhadap produsen kendaraan bermotor asing yang akan beroperasi di negara-negaranya, seperti Maruti di India yang merupakan hasil M&A dengan Suzuki yang merupakan salah satu raksasa produsen otomotif dari Jepang, di samping memproduksi sendiri kendaraan bermotor lokal India, seperti Tata dan Bajaj yang juga terkenal di pasar domestik. Tidak mengejutkan jika pada akhirnya terjadi transfer teknologi dari Suzuki terhadap Maruti yang sesuai dengan kontrak akan menghasilkan relasi yang tidak hanya menguntungkan Maruti, namun juga Suzuki.[30] Hal seperti ini pernah diterapkan di Indonesia di bawah payung Orde Baru melalui proyek mobil nasional Teknologi Industri Mobil Rakyat (TIMOR) yang bekerja sama dengan KIA dari Korea serta Bimantara yang bekerja sama dengan Hyundai yang juga berasal dari Korea.[31] Hanya saja sehubungan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan oleh rezim Orde Baru yang juga terkait dengan proyek mobil nasional ini, proyek ini terhenti dan hingga kini tidak ada satu pun proyek mobil nasional – atau setidaknya motor nasional – yang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah seperti layaknya TIMOR, Bimantara, dan sebagainya, padahal hal tersebut mampuu menjadi salah satu wujud industrialisasi modern Indonesia di tengah persaingan dengan negara-negara industri maju maupun industri baru.
Kesimpulan
Dalam memahami Indonesia dan rencana yang tertuang dalam MP3EI untuk mencapai Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025, tentu saja kita tidak dapat menyampingkan faktor-faktor di luar per kapita dan PDB semata. Bahkan penulis juga mengajak untuk lebih berhati-hati dalam membaca statistik yang bisa jadi mengecoh, seperti angka melek huruf Indonesia yang relatif tinggi, namun ternyata didominasi oleh sekolah dasar yang terbilang tidak cukup sebagai penopang industrialisasi negara yang membutuhkan riset dan tenaga kerja terampil dalam bersaing di tengah globalisasi yang kian marak pada abad ke-21 ini. Visi dan misi yang dipaparkan dalam MP3EI sebenarnya bisa terwujud apabila terdapat upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia tidak hanya terpaku pada angka-angka statistik. Hanya saja, selama ini patokan utama pemerintah dalam melihat keberhasilan kinerjanya hanya sebatas pada angka-angka yang pada dasarnya tidak terlalu representatif dalam kenyataan yang ada di lapangan.
MP3EI adalah salah satu wujud utama dalam mencapai progresivitas Indonesia menuju arah yang semakin lebih baik. Dalam waktu yang relatif singkat – 14 tahun – MP3EI kemungkinan besar tidak dapat terwujud dengan maksimal. Mungkin jika didasari pada pendapatan per kapita yang dilihat dari PDB Indonesia dari tahun ke tahun bisa menunjukan keadaan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025, terlebih jika memperhatikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukan angka yang relatif tinggi dan stabil dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pemahaman terhadap angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut di tengah krisis finansial global di negara-negara industri maju masih harus ditelusuri lebih lanjut, mengingat secara perekonomian Indonesia telah banyak mengalihkan perdagangan internasional dan menggandeng mitra investasi dari negara-negara industri baru, khususnya Asia. Hanya saja, prospek dari hal ini tidak dapat terus berlangsung dengan aman apabila Indonesia tidak memulai industrialisasi di bidang produk bernilai lebih, ketimbang mempertahankan spesialisasi di bidang sumber daya alam semata yang hanya menjadikan Indonesia sebagai basis kebutuhan bahan baku.

Dalam hal ini, penulis sangat mengharapkan dalam MP3EI yang akan dijalankan selama satu setengah dekade mendatang untuk memperhatikan sektor industri padat teknologi dan modal, hal ini dimaksudkan agar Indonesia tidak hanya menjadi basis konsumsi dari produk-produk asing semata, namun Indonesia juga mampu memproduksi sendiri produk-produk mereka yang akan bersaing di pasar internasional. Kendala yang ditemukan memang masih cukup banyak, dalam hal ini pemerintah harus mampu menyediakan sarana pendidikan yang merata dan terjangkau bagi masyarakat kelas bawah di Indonesia yang masih merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus mulai mengurangi dominasi investor asing dalam memasarkan produknya di Indonesia dengan cara mendukung usaha kecil dan menengah (UKM) hingga industri-industri besar nasional dalam rangka bersaing melawan produk-produk asing. Dengan cara demikian, Indonesia yang menjadi negara maju di masa mendatang tidak hanya ‘maju’ berdasarkan angka kuantitatif, namun kualitatif yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara industri maju di dunia yang mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia.
(Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Globalisasi dan Politik di Indonesia Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tahun Akademik 2011/2012. Penulis bertanggungjawab sepenuhnya atas tulisan ini.)

[1] Yayasan Indonesia Forum, Visi Indonesia 2030 (Jakarta: Yayasan Indonesia Forum, 2007), hlm. 1
[2] Informasi diperoleh dari situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (http://www.ekon.go.id/news/2011/05/27/peluncuran-masterplan-percepatan-dan-perluasan-pembangunan-ekonomi-indonesia). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 19.18 WIB
[3] United Nations Development Programme, Human Development Report 2011: Sustainability and Equity: A Better Future for All (New York: Palgrave Macmillan, 2011), hlm. 126
[4] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 33
[5] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 26
[6] Sadono Sukirno, op. cit., hlm. 35
[7] ibid., hlm. 37
[8] Arief Budiman, op. cit., hlm. 27
[9] Alex Frangos, “Troubles of West Take Toll on Emerging Economies” (http://online.wsj.com/article/SB10001424052970204774604576628631676483052.html). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 20.01 WIB
[10] Asian Info, “Indonesia’s Economy” (http://www.asianinfo.org/asianinfo/indonesia/pro-economy.htm). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 20.13 WIB
[11] The Economist, “Indonesia’s Middle Class: Missing BRIC in wall” (http://www.economist.com/node/18989153). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 21.18 WIB
[12] Informasi diperoleh dari situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (http://www.ekon.go.id/news/2011/05/27/peluncuran-masterplan-percepatan-dan-perluasan-pembangunan-ekonomi-indonesia). Diakses pada 30 Desember 2011, pukul 19.18 WIB
[13] ibid.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] ibid.
[17] ibid.
[18] Lin Zonghong, Mínzhǔ yǔ wēiquán de zhìdù jīxiào: Yàzhōu sì xiǎolóng zhèngzhì jīngjì fāzhǎn de liànghuà fēnxī (Taipei: Táiwān zhèngzhì xué kān, 2007), hlm. 177
[19] ibid., hlm. 180
[20] ibid., hlm. 202
[21] Burhanuddin Abdullah, Menanti Kemakmuran Negeri: Kumpulan Esai tentang Pembangunan Sosial Ekonomi Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 21
[22] Deutsche Welle, “Peringkat Kredit Indonesia Naik Menjadi BBB-“ (http://www.dw-world.de/dw/article/0,,15606941,00.html). Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 10.21 WIB.
[23] United Nation Development Programme, Indonesia: HDI Values and Rank Changes in the 2011 Human Development Report (New York: Palgrave Macmillan, 2011), hlm. 5
[24] Republika, “Lulusan Sarjana Minim, Investor pun Ogah Lirik Indonesia” (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/10/20/141344-lulusan-sarjana-minim-investor-pun-ogah-lirik-indonesia). Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 11.12 WIB.
[25] Informasi diperoleh dari http://www.wageindicator.org. Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 12.37 WIB.
[26] Informasi diperolehd dari http://www.ruralelec.org/9.0.html. Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 12.45 WIB
[27] Informasi diperoleh dari http://www.doingbusiness.org/rankings. Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 12.56 WIB
[28] Informasi diperoleh dari http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.GINI. Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 14.01 WIB
[29] The Economist, “America, China and Protectionism” (http://www.economist.com/node/14442673). Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 14.43 WIB
[30] Informasi diperoleh dari http://www.companiesandmarkets.com/Company-Profile/maruti-suzuki-india-limited-mergers-acquisitions-%28ma%29,-partnerships-alliances-and-investment-report-715536.asp\. Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 14.58 WIB
[31] Informasi diperoleh dari TEMPO (http://www.tempo.co.id/ang/min/01/24/ekbis1.htm). Diakses pada 31 Desember 2011, pukul 15.15 WIB

没有评论:

发表评论