2012年1月18日星期三

印尼語作文:DEMOKRASI DAN NILAI-NILAI ASIA: KONFUSIANISME DI ASIA TIMUR DAN TANTANGAN DALAM MEWUJUDKAN NEGARA DEMOKRATIS


Sebagai suatu paham yang bersifat hegemonik, demokrasi yang lahir dan tumbuh besar di Eropa mulai menjadi suatu komoditas yang sangat vital bagi pembangunan negara di seluruh dunia, khususnya pasca-kolonialisme dan imperialisme. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelabelan negara-negara di seluruh dunia–dan bahkan negara-negara yang dikategorikan sebagai negara otoriter dan totalitarian oleh negara-negara Barat sekalipun, seperti Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara) atau Republik Demokratik Kongo–sebagai negara demokratis. Pelabelan sebagai negara demokratis ini tidak secara langsung ekivalen dengan negara demokratis versi Eropa atau Amerika Serikat, mengingat unsur demokratis yang diangkat oleh sebagian negara-negara di Asia dan Afrika tersebut terutama adalah eradikasi unsur-unsur feodalisme yang sangat mengakar kuat di negara-negara Asia dan Afrika melalui serangkaian historis yang mendukung. Eradikasi ini memang lebih terlambat ketimbang bangsa Barat yang sudah memulainya sejak memasuki abad pencerahan Eropa (abad ke-16 M).
Perdebatan yang sangat menarik dapat dilihat ketika demokrasi yang diterapkan di Barat, yang memiliki platform sosio-kultural dan sosio-historis yang berbeda dengan negara-negara lain, tidak selalu dapat diterapkan semulus di negara-negara lain tersebut. Penulis mencoba mengangkat demokrasi di negara-negara Asia Timur terkait dengan nilai-nilai asli yang dimiliki (Asian values). Penulis lebih memilih kata ‘tantangan’ dalam upaya membandingkannya dengan demokrasi yang mulai hegemonik di Asia Timur dan tidak menuliskan kata ‘benturan’, ‘versus’, dan sebagainya yang seolah menyatakan bahwa Asian values tidak sesuai dengan demokrasi, mengingat di beberapa negara di Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan dan Republik Tiongkok (Taiwan) praktik demokrasi ala Barat sudah berlangsung lebih dari dua dekade–di Jepang bahkan lebih lama lagi–dan berhasil. Hal ini dilakukan tanpa harus melakukan eridikasi terhadap Asian values itu sendiri. Dalam esai ini, akan dipaparkan makna dari Asian values di Asia Timur, beserta perjalanan demokrasi di negara-negara Asia Timur. Tidak luput sebuah analisa singkat penulis terkait bentuk demokrasi ideal di Asia Timur itu sendiri dengan sedikit kritikan terhadap argumen Samuel P. Huntington mengenai demokrasi dan Konfusianisme di Asia Timur, dengan studi kasus Republik Tiongkok dan Korea Selatan. Asian values yang akan dibahas dibatasi pada doktrin dari Kong Fu-zi (Konfusius) yang terkenal dengan nama Rujia, Konfusianisme, atau Konghucu, mengingat doktrin Konfusianisme ini, bersamaan dengan doktrin-doktrin Tiongkok lainnya, tidak hanya dipraktikan di Tiongkok sendiri, melainkan juga dipraktikan di Korea, Jepang, dan Vietnam.
Asian Values di Asia Timur: Doktrin dan Perkembangan Konfusianisme
Asian values di Asia Timur adalah seperangkat doktrin, ajaran, nilai dan dogma yang berasal dan mengakar kuat di wilayah Asia Timur. Secara geopolitik, wilayah Asia Timur mencakup Republik Rakyat Tiongkok, Republik Tiongkok (Taiwan), Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara), Republik Korea (Korea Selatan), Republik Mongolia dan Kekaisaran Jepang. Secara kultural, wilayah Asia Timur juga mencakup Republik Sosialis Vietnam di wilayah Asia Tenggara. Doktrin yang mengakar kuat selama berabad-abad di wilayah Asia Timur pada umumnya berasal dari Tiongkok, yaitu Rujia (Konfusianisme), Fajia (Legalisme) dan Daojia (Taoisme), dengan perpaduan doktrin-doktrin asali di wilayah lain, seperti Shintoisme di Jepang dan Jucheisme di Korea Utara. Adapun doktrin yang bersifat dogmatis di wilayah Asia Timur yang berasal dari Asia Selatan (Vedic Brahmanisme), yaitu Buddhisme yang juga tumbuh pesat di wilayah Asia Timur selama berabad-abad dan telah mengalami modifikasi, sehingga muncul Buddhisme Tiongkok, Buddhisme Korea, Buddhisme Jepang, Buddhisme Mongolia, dan Buddhisme Tibet.
Konfusianisme merupakan ajaran yang berasal dari seorang filsuf dan Menteri Dalam Negeri Kerajaan Lu pada masa Dinasti Zhou (1046-256 SM) yang bernama Kong Qiu (lahir pada 28 September 551 SM dan wafat pada tahun 479 SM), yang belakangan dikenal dengan nama Kong Fu-zi dan dilatinisasi menjadi Konfusius. Ajaran Konfusius ini sebenarnya baru secara resmi diinstitusionalisasikan pada masa Dinasti Han (206 SM-220 M), yaitu ketika Konfusianisme secara resmi dijadikan sebagai guojiao atau ideologi negara. [1]  Sebelumnya, Konfusianisme masih bagian dari Zhuzi Baijia atau Seratus Aliran Pemikiran yang berkembang di era Dinasti Zhou, bersama dengan Legalisme, Taoisme, Mohisme, Mingjia, dan sebagainya. Ajaran Konfusianisme dipertahankan oleh beberapa raja-raja bijak pada masa Dinasri Zhou, seperti Yao dan Shun.[2] Pada masa terunifikasinya Tiongkok pada era Dinasti Qin (era sebelum Dinasti Han, 221 SM-206 SM), Konfusianisme dianggap sebagai ajaran yang buruk dan tidak diperbolehkan untuk berkembang.
Doktrin terutama dari Konfusianisme adalah lima elemen dasar atau wuchang (kemanusiaan, kebenaran, adat-istiadat, pengetahuan dan ketulusan) dan empat karakter atau sizi (kepatuhan, bakti, empirik, dan kejujuran). Adapun nilai-nilai lain yang termaktub dalam Sishu Wujing, yang menjadi kitab-kitab dasar pemikiran Konfusius, seperti kerendahhatian, kebersihan, rasa malu, keberanian, tanggung jawab, keuletan, kebaikan, penolong, berwibawa, hemat, dan sederhana.[3] Doktrin Konfusianisme ini sangat mengakar kuat pada masyarakat Asia Timur sejak awal diinstitusionalisasikannya ideologi Konfusianisme ini hingga masa modern kini yang dapat terlihat jelas dari kultur masyarakat Asia Timur secara umum.
Ajaran Konfusianisme murni berkembang besar hingga memasuki abad pertengahan Tiongkok, yaitu pada masa Dinasti Song (960-1279 M), ketika terjadi sedikit perubahan pada implementasi Konfusianisme di Tiongkok dan negara-negara sekitarnya. Perubahan terjadi setelah muncul seorang tokoh pembaharuan Konfusianisme, Zhu Xi (1130-1200 M), yang menggagas ide penggabungan tiga doktrin besar yang berkembang di Tiongkok, Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme atas dasar kesamaan nilai yang dimiliki dan dukungan yang bersifat saling melengkapi dari tiga doktrin besar tersebut.[4] Ajaran Konfusianisme sendiri pada awalnya terlepas dari doktrin Buddhisme karena periode kelahiran dua doktrin yang relatif sama. Selain Zhu Xi, ada juga tokoh pembaharuan lain yang bernama Wang Yang-ming (1472-1529 M) yang menyatakan bahwa diperlukan sikap empirisme yang melihat relasi antara teori dan praktik. Mulai sejak terjadinya perubahan tersebut, doktrin yang dipegang teguh oleh masyarakat Tiongkok dan Asia Timur lainnya berubah, dari yang murni Konfusianisme menjadi Songming Lixue atau yang dipersingkat dengan nama Lixue yang menggabungkan tiga doktrin besar seperti yang telah disebutkan sebelumnya.[5] Dalam istilah yang lebih populer, doktrin ini dinamakan sebagai Neo-Konfusianisme yang mulai berlaku secara legal-formal di ranah pemerintahan hingga runtuhnya dinasti terakhir Tiongkok, Dinasti Qing (1644-1912).
Unsur terpenting dari Neo-Konfusianisme adalah penekanan pentingnya rasionalisme, empirisme, pragmatisme dan individualisme yang tidak disinggung secara komprehensif dalam Konfusianisme klasik.[6] Hal ini menjadikan individu sebagai sosok yang penting dalam mewujudkan cita-cita yang diharapkan oleh Konfusius sebagai junzi atau manusia superior, yang berbeda dengan xiaoren atau manusia umum yang menurut Konfusius sebagai kelompok manusia dengan mental inferior.[7] Penekanan terhadap individual untuk menciptakan junzi inilah yang terlihat jelas pada abad ke-12  hingga abad ke-17 Tiongkok yang memasuki masa kejayaan, yang berimplikasi pada pesatnya perkembangan ilmu pegetahuan dan penemuan-penemuan di masa itu. Berbagai penemuan mutakhir tersebut menjadikan Tiongkok sebagai salah satu pusat dari pendidikan dunia, termasuk ekspedisi laut yang spektakuler di bawah pemerintahan Kaisar Yongle–dengan mengutus Laksamana Zheng He dengan armada laut yang sangat besar–yang menyebabkan kontak pertama antara bangsa Tiongkok dengan Afrika.[8]
Memasuki abad ke-17 di bawah Dinasti Qing yang sangat konservatif menyebabkan kemunduran bagi bangsa Tiongkok sendiri. Sosok junzi yang diharapkan oleh Konfusius sebagai tokoh yang mampu membawa perubahan tidak kunjung muncul di Tiongkok, pada akhirnya Tiongkok mengalami stagnansi dalam perkembangan ilmu pengetahuannya, di tengah kemajuan pesat bangsa Barat yang disebabkan oleh Liberalisme dan Sekularisme. Di negara-negara Konfusian lain juga mengalami hal yang serupa, Dinasti Joseon Korea yang sudah memiliki legitimasi sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 juga mengalami stagnansi di akhir eksistensinya dalam menemukan sosok junzi. Hal terbesar yang pernah terjadi di negara yang berbasiskan agrikultural ini adalah penemuan karakter Hangeul yang dipakai untuk membedakan karakter Tionghoa (Hanzi atau Kanji) dan astrologi Korea oleh Raja Sejong pada abad ke-15.[9] Jepang yang selama berabad-abad memegang prinsip Wakon Kansai yang berarti ‘spirit Jepang dengan pengetahuan Tiongkok’ mulai melakukan peralihan menjadi Wakon Yosai yang berarti ‘spirit Jepang dengan pengetahua Barat’ karena Jepang menilai Tiongkok sebagai pusat pengetahuan telah mengalami stagnansi setelah terbukti mengalami kekalahan perang dengan bangsa Barat pada abad ke-19.[10] Hal ini praktis menjadikan Jepang sebagai negara pertama yang mengenal kultur Barat di Asia Timur, termasuk mengenal demokrasi yang telah berkembang pesat di Barat.
Konfusianisme sebagai suatu doktrin yang dipegang teguh di Asia Timur selama berabad-abad pada akhirnya mengalami guncangan terbesar pasca-runtuhnya Dinasti Qing yang merupakan akhir dari perjalanan panjang Kekaisaran Tiongkok. Lahirnya Republik Tiongkok pada tahun 1912 yang diprakarsai oleh Sun Yat-sen dengan ideologi Sanmin Zhuyi-nya menjadikan Tiongkok mentransformasikan dirinya dari sebuah negara tradisional-feodalistik menjadi sebuah republik yang demokratis.[11] Sekali lagi, gerakan untuk mentransformasikan Konfusianisme muncul, dan kali ini mengupayakan agar Konfusianisme mampu menjawab upaya modernisasi yang sanggup melawan superioritas Barat di bidang teknologi, filsafat dan budaya.[12] Dinasti Joseon juga runtuh seiring pesatnya agresivitas Jepang dalam rangka mewujudkan Dai-tō-a Kyōeiken (Great East Asia Co-Prosperity Sphere) yang mejadikan Korea berada dalam kekuasaan Jepang hingga Perang Dunia II usai pada tahun 1945.
Jepang sebagai negara Asia Timur pertama yang mulai mempelajari tradisi Barat tidak meninggalkan ideologi Konfusianisme yang sudah lama berkembang di Jepang. Justru ajaran Konfusianisme di Jepang (dikenal dengan nama jukyo) difusikan dengan doktrin asali Jepang seperti Shintoisme dan mentalitas bushido yang berkembang pesat pada masa imperialisme Jepang pada awal abad ke-20. Hal ini terlihat dari cara Jepang dalam melegalkan struktur legal-formal yang hierarkis dan terkontrol seperti yang dikehendaki oleh Konfusius dalam segala birokrasi yang ada. Selain itu, sosok junzi yang dianggap oleh masyarakat Jepang adalah kaum yang memiliki mentalitas bushido untuk melawan kekuatan Barat.[13] Dalam hal ini, demokrasi ala Barat yang mulai menghegemon pasca-kekalahan Perang Dunia II belum tampak di Jepang, meskipun studi terhadap demokrasi itu sendiri sudah dilakukan.
Pasca-Perang Dunia II: Konfusianisme di Tengah Demokrasi Barat
Setelah Perang Dunia II usai dan dimenangi oleh Amerika Serikat beserta sekutunya yang kini memiliki kedudukan sebagai negara-negara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa–Inggris Raya, Perancis, Uni Soviet (sekarang Rusia) dan Republik Tiongkok (sekarang Republik Rakyat Tiongkok)–ini, perkembangan Konfusianisme di Asia Timur menjadi semakin terdesak arus modernisasi ala Barat setelah Republik Tiongkok banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Republik Tiongkok mulai menerapkan beberapa karakteristik demokrasi ala Barat seperti pemilihan umum Dewan Nasional pertama kali dalam sejarah bangsa Tiongkok pada tahun 1913, juga terjadi pemilihan umum legislatif pada tahun 1948, satu tahun sebelum kekuatan Komunisme mengambil alih pemerintahan di Tiongkok daratan. Jepang yang merupakan negara yang kalah perang harus tunduk pada serangkaian kebijakan yang disusun oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang telah disebutkan sebelumnya, seperti penggantian Undang-undang Dasar Jepang yang menyebabkan peranan Kaisar sebagai Tenno Heika yang sangat dominan luntur dan digantikan oleh parlemen yang lebih demokratis. Korea yang sudah merdeka dari kekuasaan Jepang dibagi dua atas dasar kepentingan ideologis dua negara adidaya dunia pada masa itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pembagian ini berdasarkan 38˚ garis DMZ (De-Militarized Zone) yang memisahkan dua Korea yang sebelumnya bersatu. Akan tetapi, baik Republik Tiongkok, Jepang, maupun dua Korea yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan asing ini tidak melepaskan unsur-unsur Konfusianisme yang sudah menjadi karakteristik dari masyarakat Asia Timur.
Ajaran Konfusianisme yang mengutamakan harmonisme antar-kelas dan masyarakat ini menjadi harus berbagi dengan doktrin-doktrin dari Barat, seperti Liberalisme, Kapitalisme, Sekularisme, Sosialisme dan Komunisme. Pada tahun 1949, ketika Republik Tiongkok mengalami kekalahan dalam berperang melawan kekuatan Komunisme yang diusung oleh Mao Zedong dan rekan-rekannya, Tiongkok menjadi negara yang Sosialis-Komunis–dengan nama resmi Republik Rakyat Tiongkok yang diproklamasikan pada 1 Oktober 1949. Seorang Mao Zedong yang menyatakan dirinya anti-terhadap pemikiran Konfusius ini menyatakan bahwa ajaran-ajaran Konfusianisme dianggap tidak lagi relevan dalam menciptakan negara yang modern, dan Tiongkok harus bersandar pada dua opsi–Imperialisme atau Sosialisme, dan Mao memilih Sosialisme.[14] Mao melihat bahwa Konfusius sendiri berasal dari kalangan penindas (aristokrat) yang menciptakan pemikiran untuk mempertahankan legitimasi kelompoknya.[15] Akan tetapi, Mao menyadari bahwa masyarakat Tiongkok adalah masyarakat yang Konfusian yang pada akhirnya dipakai sebagai alat untuk melegitimasikan kekuasaannya sejak 1949 hingga Mao mangkat pada tahun 1976. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Tiongkok yang Komunis, melainkan terjadi juga di Korea Utara di bawah pimpinan Kim Il-sung hingga Kim Jong-il masa kini.   
Hal yang berbeda terjadi di negara-negara bukan Komunis di Asia Timur. Jepang yang mulai menjadi sekutu dari Amerika Serikat mulai melakukan beragam upaya yang bersifat demokratis, seperti pemilihan umum pada Majelis Tinggi Jepang (sangjin), yang dibentuk pasca-Perang Dunia II, pada tahun 1947. Republik Korea (Korea Selatan) juga menggelar pemilihan umum legislatif untuk pertama kalinya pada tahun 1947 dan pemilihan umum eksekutif pada tahun 1948. Meskipun pemilihan umum tidak secara langsung menjadikan Korea Selatan demokratis layaknya negara-negara Barat, cikal-bakal dari demokrasi ala Barat di Korea Selatan sudah mulai tertanam hingga tahun 1987 ketika terjadi demonstrasi menuntut demokratisasi di Korea Selatan oleh beragam kelas menengah di Korea Selatan setelah mengalami booming-economy bersama dengan Republik Tiongkok (Taiwan), Singapura, dan Hong Kong pada dekade 1960-an hingga 1990-an yang dikenal dengan sebutan Empat Macan Asia.
Sebagai ideologi yang menjadi basis bagi Republik Tiongkok–yang sudah tersingkir hingga ke Pulau Taiwan–dalam menjalankan pemerintahannya, Konfusianisme masih tetap dipertahankan sebagai warisan budaya yang tidak dihapus dalam tatanan pemerintahan Republik Tiongkok. Demokrasi ala Barat memang belum dapat sepenuhnya diterapkan di Republik Tiongkok, khususnya pada masa booming-economy yang menjadikan pemerintah Republik Tiongkok lebih mementingkan stablititas dalam menjalankan pemerintahannya. Otoritarianisme Republik Tiongkok sudah diberlakukan pasca-pemberlakuan hukum bela diri pasca-insiden 228 yang menjadikan pemerintah Republik Tiongkok bebas untuk menangkap siapa saja yang dianggap mampu membawa instabilitas bagi Republik Tiongkok.
Ketiga negara di Asia Timur–Jepang, Korea Selatan dan Republik Tiongkok–yang kini telah menjadi negara-negara maju di Asia Timur sudah melakukan upaya demokratisasi yang memasuki tahap sempurna pada dua dekade terakhir.  Di mulai dari Jepang pasca-Perang Dunia II yang sudah menjadi negara demokratis dan gerakan demokratisasi di Korea Selatan dan Republik Tiongkok pada waktu yang relatif bersamaan–pada akhir dekade 1980-an, ketika keadaan ekonomi kedua negara tersebut sudah relatif mapan–menjadikan ketiga negara di Asia Timur ini sebagai ‘model’ dari keberhasilan demokratisasi di negara-negara non-Barat pada umumnya, meskipun masih diakui bahwa demokrasi di sana tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan, seperti demokrasi yang justru lebih menguntungkan kelompok konglomerat Korea (chaebol) untuk memperoleh akses, baik di ranah bisnisnya maupun politik.[16] Nilai-nilai ke-Asiaan yang ada pada tiga negara ini memang tidak mengalami degradasi yang signifikan, khususnya jika kita perhatikan kiprah ajaran-ajaran asali dari Asia Timur itu sendiri sejauh ini. Akan tetapi, Samuel P. Huntington sebagai seorang yang menilai Konfusianisme sebagai penghambat dari kemajuan menyebutkan bahwa kemajuan yang diperoleh oleh Korea Selatan dan Republik Tiongkok–yang hanya menjadi dua negara Asia Timur yang dijadikan representasi dari Konfusianisme–juga dipengaruhi oleh doktrinasi Barat, seperti agama Kristen yang mulai berkembang pesat di Korea Selatan secara khususnya.[17] Lebih jauh lagi, Huntington yang memuji Kristen sebagai ideologi yang ‘lebih ungggul dari Konfusianisme (dan Buddhisme) karena mempromosikan gagasan persamaan dan rasa hormat terhadap sejumlah otoritas yang bebas dari negara’.
Demokrasi Asia Timur: Embrio Demokrasi Konfusian yang Minimalis
Pada masa kini, ketika semua Asia Timur–kecuali Korea Utara–mempraktikan sistem ekonomi pasar bebas yang pada akhirnya sangat mendominasi di bidang perekonomian dunia, isu mengenai demokrasi di Asia Timur seolah telah menjadi suatu hal yang semakin perlu ditonjolkan. Republik Rakyat Tiongkok yang mempraktikan ekonomi pasar-sosialis menjadikan negaranya melesat sangat cepat dalam 30 tahun terakhir menjadi sebuah negara yang disoroti oleh negara-negara di seluruh dunia, dengan pencapaian terakhirnya sebagai negara dengan tingkat perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Meskipun secara politik Republik Rakyat Tiongkok masih mempraktikan doktrin Komunisme, tidak tertutup kemungkinan bahwa Republik Rakyat Tiongkok akan menjadi sebuah negara yang lebih demokratis di masa mendatang, terlebih jika kita melihat fenomena yang terjadi di Republik Tiongkok dan Korea Selatan pasca-booming economy yang menjadikan kedua negara yang sebelumnya dapat dikategorikan sebagai negara berkembang dan agraris menjadi negara maju dengan industri-industri raksasa yang banyak mendominasi pasar dunia. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sendiri telah menjanjikan pemilihan umum nasional secara langsung yang akan digelar kurang-lebih pada tahun 2037.[18] Terlepas dari dominasi Partai Komunis Tiongkok yang sejauh ini masih merupakan partai tunggal di Republik Rakyat Tiongkok.[19]
Konfusianisme di Republik Rakyat Tiongkok juga tidak hilang, meskipun pada masa Mao Zedong ajaran Konfusianisme berada dalam kondisi seperti layaknya pada masa Dinasti Qin, yang menganggap Konfusianisme sebagai ajaran yang buruk dan tidak boleh berkembang. Setelah Republik Rakyat Tiongkok mentransformasikan sistem ekonominya, dari sistem terpusat menjadi sistem ekonomi pasar-sosialis di bawah pimpinan Deng Xiaoping pada tahun 1978, tampak jelas bahwa pragmatisme yang merupakan salah satu doktrin dari Wang Yang-ming dalam Neo-Konfusianisme kembali digunakan. Sistem politik dan sistem ekonomi Republik Rakyat Tiongkok yang terbilang unik ini senada dengan doktrin klasik Tiongkok yang juga mempengaruhi Konfusianisme, yaitu Taoisme dengan konsep yin dan yang. Pada tahun 2004, Republik Rakyat Tiongkok mendirikan Kongzi Xueyuan (Institut Konfusius) yang tersebar luas di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang mengajarkan doktrin-doktrin Konfusianisme beserta kultur Tiongkok lainnya.[20] Pada tahun 2008, tiga hari libur tradisional yang Konfusianis yang selama berabad-abad menjadi hari libur nasional, namun sempat dihapus pada masa awal Republik Rakyat Tiongkok hingga tahun 2008, juga kembali direstrorasi menjadi hari libur nasional.[21]
Di Republik Tiongkok, Konfusianisme masih mendapatkan tempat yang baik, sejajar dengan demokrasi ala Barat yang diinstitusionalisasikan melalui Sanmin Zhuyi dan mulai diterapkan secara komprehensif sejak tahun 1987, ketika hukum bela diri, yang memperkenankan pemerintah untuk menangkap tokoh yang dianggap mampu menciptakan instabilitas bagi negara, dicabut. Selain itu, pemerintahan yang didominasi oleh Kuomintang juga memperkenankan eksistensi partai oposisi untuk duduk di parlemen dan mengadakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Tiongkok secara langsung pada tahun 1996. Perkembangan demokrasi di Republik Tiongkok ini semakin menuju arah yang dewasa ketika partai oposisi, Minjintang, memenangkan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Tiongkok pada tahun 2000 dan 2004, mengalahkan dominasi Partai Kuomintang yang sudah berkuasa sejak tahun 1912.
Korea Selatan juga sudah memasuki tahapan yang sama dengan Republik Tiongkok, ketika demokrasi ala Barat telah berkembang secara pesat, namun posisi Asian values, khususnya Konfusianisme, masih mendapatkan tempat yang baik di dalamnya. Memang benar dalam analisa Huntington dinyatakan bahwa agama Nasrani bertumbuh pesat di Korea Selatan, yang menciptakan persentasi hingga 26,3%, atau sebagai agama terbesar yang dianut di Korea Selatan. Akan tetapi, Nasrani tidak dianut secara mayoritas oleh masyarakat Korea Selatan yang justru 46% di antaranya tidak beragama, namun masih menyatakan dirinya sebagai Konfusian–yang bukan sebagai agama.[22] Dengan kata lain, pernyataan Huntington yang sangat mengedepankan bahwa Kristen lebih diminati daripada Konfusianisme perlu diklarifikasi ulang, karena masyarakat Korea Selatan sendiri masih menyatakan kecintaannya pada Konfusianisme, yang dapat dilihat dari apresiasi yang tinggi terhadap Universitas lokal yang berbasis Konfusianis–Sungkyunkwan Daehag–dan Institut Konfusius.[23] Demokrasi yang berjalan di Korea Selatan, Jepang dan Republik Tiongkok tidak serta-merta ‘copy-paste’ dari Barat, melainkan perpaduan antara nilai-nilai asali yang masih perlu dipertahankan dengan unsur ‘modern’ yang dibawa dari demokrasi dan nilai-nilai Barat lainnya yang berkembang di negara-negara tersebut.
Huntington yang secara gamblang menyalahkan Konfusianisme sebagai unsur ‘penghambat’ dari pembangunan di Korea Selatan dan Republik Tiongkok atas dasar unsur hierarkisme dan harmonisme, serta memuji Kristen sebagai doktrin progresif perlu dikritisi lebih lanjut. [24]  Memang benar bahwa Konfusianisme sangat hierarkis dan mengedepankan harmonisme di atas perdebatan yang tak kunjung usai, namun tidak berarti bahwa di dalam Kristen tidak terdapat unsur hierarkis yang kuat. Huntington tidak membedakan antara Kristen-Katolik Roma dan Kristen-Protestanisme, mengingat dalam Kristen-Katolik hierarki antara kaum awam dengan imam sangat terlihat jelas, di samping hierarki di dalam kalangan imam itu sendiri. Selain itu, tidak berarti di dalam Kristen tidak ada kekuatan supra-struktur yang dimiliki. Kristen adalah dogmatis teosentris yang menempatkan firman Tuhan (Tuhan Allah, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus) sebagai landasan hidup yang lurus bagi setiap pengikutnya, yang juga menghambat masyarakat Eropa pada masa abad pertengahan di bawah dominasi Gereja Katolik Roma. Jelas Huntington perlu mengkritisi lebih lanjut perbedaan antara doktrin Konfusianisme dengan Kristen yang dianggapnya ‘lebih progresif’ tersebut.
Demokrasi ala Barat yang masih belum merambah wilayah Republik Rakyat Tiongkok–yang juga merupakan negara dengan pengaruh dan tingkat perekonomian terbesar di wilayahnya–dan Korea Utara, ditambah aliansi Jepang, Republik Tiongkok dan Korea Selatan dengan Amerika Serikat menjadikan wilayah Asia Timur masih belum dapat diprediksi secara komprehensif perkembangan demokrasi yang akan berkembang di sana. Meskipun Republik Rakyat Tiongkok mulai menunjukan beberapa proses menuju demokrasi, seperti dipraktikannya pemilihan umum secara langsung untuk memiliki kepala desa, namun hal tersebut masih jauh dari cukup untuk menyatakan bahwa Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara yang demokratis dalam perspektif Barat. Demokrasi yang dikembangkan oleh Jepang, Republik Tiongkok dan Korea Selatan memang merupakan contoh yang baik dalam mewujudkan demokrasi di tengah perbedaan sosio-kultural dan sosio-historis yang ada, dengan kondisi ekonomi yang relatif sama sebagai negara maju. Akan tetapi, bukan berarti perkembangan demokrasi yang ada di ketiga negara tersebut berjalan tanpa masalah, mengingat kekuasaan konglomerasi perekonomian di Korea Selatan justru sangat mendominasi di perpolitikan Korea Selatan. Di Jepang, demokrasi yang berasal dari klik empat universitas unggulan Jepang–Tokyo Daigaku, Kyoto Daigaku, Hosei Daigaku dan Waseda Daigaku–pada akhirnya membatasi makna dari demokrasi yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat yang seharusnya berjalan tanpa diskriminasi itu sendiri. Akhirnya, inilah yang menjadi suatu tantangan dari pembangunan demokrasi di Asia Timur.
Tipikal demokrasi yang ideal di wilayah Asia Timur tentunya tidak dapat disamakan secara seutuhnya dengan kondisi yang ada di Barat, mengingat secara kultural dan historis sangat berbeda, meskipun secara ekonomi dapat dikatakan setara. Secara pribadi, penulis mengharapkan terciptanya demokrasi yang Konfusian, maksudnya adalah praktik demokrasi yang terlepas dari unsur feodalisme yang menindas rakyat, karena sesuai dengan filsafat Konfusianisme: pilih dan ikuti mereka yang memiliki jiwa sebagai junzi dan hindari mereka yang bersifat xiaoren.[25] Meskipun terkesan sederhana, namun demokrasi ala Barat juga menekankan hal serupa dan di sinilah titik tengah antara demokrasi dengan Konfusianisme terlihat. Sebagai filsafat purba yang lahir di masa feodalisme dan dari kalangan aristokrat, Konfusianisme sudah mampu memberikan solusi bagi kelompok kelas bawah untuk menjadi seorang junzi dan memimpin. Hal ini terlihat dari beragam kisah Tiongkok kuno yang membuktikan bahwa pendiri suatu Dinasti–seperti Dinasti Yuan dan Ming–bukan dari kalangan bangsawan.
Memang betul bahwa demokrasi Barat dan Konfusianisme berbeda, namun tidak berarti bertentangan seperti yang dinyatakan oleh Huntington. Konfusianisme juga mampu menjawab tantangan-tantangan mutakhir yang tidak terdapat pada masa kehidupan Konfusius dulu. Dengan kesamaan kultur yang berbasiskan Konfusianisme, Demokrasi Konfusian merupakan jawaban dalam menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis di Asia Timur kontemporer kini. Dengan atau tanpa merujuk pada satu negara pun, negara-negara di Asia Timur yang memiliki karakteristik masing-masing sekali lagi dapat menjadikan variasi dalam Demokrasi Konfusian yang tercipta. Jepang, Republik Tiongkok dan Korea Selatan yang sudah menjadi negara demokratis perlu menyempurnakan demokrasi yang ada di negara tersebut, khususnya dalam memperluas partisipasi masyarakat kalangan yang tidak mendominasi untuk terjun dalam pemerintahan, seperti idealisme Konfusius dalam menemukan sosok junzi. Republik Rakyat Tiongkok yang menerapkan yin dan yang dalam pemerintahannya juga perlu menyempurnakan partisipasi di luar dari dominasi Partai Komunis Tiongkok yang seolah menjadi sokoguru paling sempurna di negara itu. Dengan sejarah yang cukup panjang di Tiongkok, seharusnya pemerintah Republik Rakyat Tiongkok jangan sampai mengulangi kesalahan pemerintahan-pemerintahan masa Kekaisaran dulu yang menganggap pemerintahannya paling benar–absolut–tanpa boleh diganggu-gugat. Di sinilah peranan demokrasi menjawab segala jenis penyelewengan yang terjadi, untuk itu demokrasi perlu diciptakan dalam pemerintahan, tanpa harus menjiplak seutuhnya dari Barat.
(Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pembangunan Politik dan Studi Demokratisasi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tahun Akademik 2010/2011. Penulis bertanggungjawab sepenuhnya atas tulisan ini.)

[1] Chin, Ann-ping, 2007, The Authentic of Confucius: A Life of Thought and Politics (New York: Scribner), hlm. 7
[2] Tu Wei-ming, 2005, Etika Konfusianisme (Jakarta: Penerbit Teraju), hlm. 209.
[3] Chin, op. cit., hlm. 67-69
[4] Tu, op. cit., hlm. 78
[5] Perlu diingat bahwa ketika itu wilayah Asia Timur masih berada di bawah sistem Da Hanzu Zhuyi atau yang dikenal dengan istilah Sinosentrisme, ketika Tiongkok menjadi sebagai pusat peradaban dunia dan wilayah-wilayah yang berada di sekitar Tiongkok sebagai negara dengan pengaruh Tiongkok atau Sinosfer, serta wilayah lain di luar Sinosfer yang dianggap sebagai bangsa barbarian. Wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh Kekaisaran Tiongkok pada umumnya merupakan negara fasal yang setiap bulan atau tahun wajib membayar upeti kepada Kekaisaran Tiongkok. Oleh karena itu, segala doktrin yang diberlakukan di Tiongkok sudah pasti diberlakukan juga di negara-negara Asia Timur lainnya yang merupakan fasal dari Tiongkok. Baca David C. Kang, 2010, East Asia Before The West: Five Centuries of Trade and Tribute (New York: Columbia University Press) , hlm. 160.
[6] Tu, op. cit., hlm. 138.
[7] Konfusius membagi dikotomi manusia yang cukup sederhana, yaitu junzi dan xiaoren. Junzi adalah manusia superior yang menjalankan empat yan, yaitu sadar atas kebenaran, keadilan, hak dan jalan yang lurus. Selain itu, junzi juga memiliki sikap yang bijaksana, dermawan serta keberanian dalam mengutarakan pendapat yang benar, demi terciptanya harmonisme kehidupan di tengah keadaan yang kacau. Xiaoren adalah manusia biasa yang memiliki mentalitas inferior, seperti mementingkan hasil yang akan didapatkan ketimbang dampak jangka panjang, berbicara tanpa memikirkan dampak, sombong dan memikirkan kepentingan kelompok sendiri ketimbang masyarakat luas. Konfusius mengharapkan terciptanya pemerintahan yang dikuasai oleh sosok junzi ini. Baca Lunyu: Ren (4.16).
[8] Berbagai penemuan termutakhir ini diperkenalkan kepada bangsa Barat ketika Marco Polo pertama kali menginjakan kaki di Tiongkok. Beberapa dari penemuan yang dibawa pulang ke daerah asalnya adalah Sida Faming atau Empat Temuan Besar Tiongkok, yaitu kertas, mesiu, kompas dan papan cetak. Berbagai temuan lain seperti jam, roket tradisional, peluru, kembang api, rumusan astrologi, matematika klasik, sempoa, stampel, uang kertas, uang logam, dan lain sebagainya juga dihadiahkan oleh Kaisar Zhiyuan pada masa Dinasti Yuan. Baca Derk Bodde, 1991, Chinese Thought, Society, and Science. Honolulu: University of Hawaii Press, hlm. 24-93.
[9] Informasi disadurkan dari http://www1.korea-np.co.jp/pk/070th_issue/98111805.htm. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 15.11 WIB.
[10] Informasi disadurkan dari http://www.ntu.ac.uk/writing_technologies/back_issues/Vol.%201.1/Sato/index.html. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 15.29 WIB.
[11] Ideologi Sanmin Zhuyi ini memuat tiga unsur terutama, yaitu Minzu Zhuyi (Nasionalisme), Minquan Zhuyi (Demokrasi), dan Minsheng Zhuyi (Kesejahteraan Umum). Meskipun ideologi Sanmin Zhuyi ini mulai mengarah pada transformasi ala Barat, ideologi Konfusianisme tidak sepenuhnya dihilangkan dari pemerintahan, hal ini dilihat dari penerapan sistem Kaoshi Yuan (Dewan Ujian) untuk merekrut pegawai negeri sipil yang diberlakukan sejak masa Kekaisaran Tiongkok dengan landasan Konfusianisme. Lihat http://www.exam.gov.tw/mp.asp?mp=1 untuk informasi lebih detail. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 13.54 WIB.
[12] Gerakan transformasi Konfusianisme terbaru ini dikenal dengan nama Wusi Yundong (Gerakan Empat Mei) yang terjadi pada tanggal 4 Mei 1919. Baca Chow Tse-Tsung, 1960, The May Fourth Movement. Intellectual Revolution in Modern China (Massachusets: Harvard University Press), hlm. 14-19.
[13] Gilbert Rozman, 1991, The East Asian Region: Confucian Heritage and Its Modern Adaptation. Princeton: Princeton University Press, hlm. 111-154.
[14] Jung Chang dan Jon Halliday, 2007, Mao: The Unknown Story. (London: Vintage Publishing), hlm. 278
[15] ibid., hlm 550

[16] Jose Ney, “Democracy in South Korea: Mature society versus immature system” (http://www.ethicsinaction.asia/archive/2008-ethics-in-action/vol.-2-no.-4-august-2008/democracy-in-south-korea-mature-society-versus). Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 15.39 WIB.

[17] Samuel P. Huntington, 1997, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Penerbit Grafiti), hlm. 90.
[18] Steven Hill, “Tiptoeing Towards Democracy” (http://www.esharp.eu/issue/2011-2/Tiptoeing-towards-democracy). Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 16.52 WIB.
[19] Perlu diketahui bahwa selain Partai Komunis Tiongkok, di Republik Rakyat Tiongkok juga terdapat delapan partai minor yang tergabung dalam Tongzhan Bu atau Barisan Kesatuan yang diantaranya adalah Zhongguo Guomindang Geming Weiyuanhui, Zhongguo Minzhu Tongmeng, Zhongguo Minzhu Jianguo Hui, Zhongguo Minzhu Cujin Hui, Zhongguo Nonggong Minzhu Dang, Zhongguo Zhi Gong Dang, Jiu San Xueshe dan Taiwan Minzhu Zizhi Tongmeng. Partai-partai ini mendapatkan kursi sebanyak 888 kursi dari total 2.987 kursi yang ada dalam parlemen Republik Rakyat Tiongkok yang bernama Quanguo Renmin Daibiao Dahui atau Kongres Rakyat Nasional. Secara prosederal, hal ini menunjukan bahwa Republik Rakyat Tiongkok yang mengklaim pemerintahannya sebagai pemerintahan demokratis adalah benar. Akan tetapi, delapan partai minor yang ada di parlemen Repubik Rakyat Tiongkok tersebut hanya bersifat pseudo-oposisi, mengingat keseluruhan dari partai-partai tersebut ada di bawah kontrol Zhonggong Zhongyang Tongzhan Bu yang merupakan bagian dari Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok. Lihat http://baike.baidu.com/view/873247.htm untuk informasi lebih detail. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 17.10 WIB.
[20] Informasi diperoleh dari situs Kongzi Xueyuan, http://www.confuciusinstitute.net, diakses pada 27 Mei 2011, pukul 17.21 WIB.
[21] Ketiga hari libur nasional tersebut antara lain Qingming Jie, Duanwu Jie dan Zhongqiu Jie. Ketiga hari libur tradisional ini sangat sarat dengan unsur Konfusianisme, sehingga pada tahun 1949 pemerintah Republik Rakyat Tiongkok menghapus tiga hari libur tradisional ini.  Untuk Informasi lebih lanjut lihat http://resources.alibaba.com/topic/250812/Public_Holidays_in_China_in_2008.htm. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 17.27 WIB.
[22] Laporan disadurkan oleh http://www.adherents.com/Na/Na_341.html. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 17.42 WIB.
[23] Laporan dari Mary E. Connor menyatakan bahwa lebih dari 68% responden yang ditelitinya menyebutkan bahwa Konfusianisme masih sangat penting dan relevan bagi masyarakat Korea. Lihat http://www.socialstudies.com%2Fpdf%2FKorea_and_Confucianism.pdf&ei=odLgTcD6DMrmrAfBpeWpBg&usg=AFQjCNGB8fMfprO0VcY-BxMHsP7azjhKtg untuk informasi lebih detail. Diakses pada 27 Mei 2011, pukul 17.49 WIB.
[24] Samuel P. Huntington, op. cit., hlm. 87.
[25] Lunyu (7.22)

2 条评论:

  1. kak Gue Amri Politik 2011, gue pengen juga dong data-data soal Asia Timur, gue tertarik banget nih buat nulis tentang ini juga

    回复删除
  2. Casino City, Las Vegas, NV - Mapyro
    The casino is 김천 출장안마 owned by 보령 출장마사지 the Las Vegas Sands and operated by The 울산광역 출장마사지 Sands. It was 사천 출장마사지 the first 속초 출장마사지 casino resort in the Las Vegas Strip

    回复删除