2012年1月18日星期三

印尼語作文:PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM DI JEPANG


Eksistensi Partai Politik di Jepang sudah dimulai sejak era Restorasi Meiji yang dimulai pada tahun 1868. Program Iwakura Shisetsudan atau Misi Iwakura yang diketuai oleh Iwakura Tomomi dalam rangka mempelajari sistem pemerintahan dan ekonomi di negara-negara Barat pada tahun 1871-1873 membuahkan reformasi politik yang melahirkan partai politik – atau pseudo-partai politik – pertama di Jepang, yaitu Aikoku Koto pada tahun 1874 oleh Itagaki Taisuke dalam rangka menjalankan jiyu minken undo atau ‘Gerakan untuk Kebebasan dan Hak Rakyat’.[1] Perkembangan ini terus mengalami kemajuan pada saat Jepang memasuki era demokrasi Taisho (1912-1926) ketika partai-partai mulai bermunculan dan mengikuti pola partai-partai modern yang berkembang pesat di negara-negara Barat, khususnya Inggris Raya dengan sistem demokrasi parlementernya. Model ini cukup terkenal dalam basis masyarakat Jepang, mengingat kiprah partai berbasis massa, dukungan sosial dan prinsip yang jelas. Selama periode ini, acapkali parlemen didominasi oleh Rikken Seiyukai, partai terbesar di Jepang pada masa itu dengan oposisi terbesar Rikken Minseito. Mengingat gelombang demokrasi di Jepang memiliki pola pasang-naik dan pasang-surut sejak Restorasi Meiji hingga pasca-pendudukan Jepang oleh Amerika Serikat, peranan partai politik dalam tatanan pemerintahan di Jepang juga mengalami hal yang serupa.
Sejak Jepang menyerah kepada pasukan sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, secara resmi Jepang telah mengakhiri periode militerismenya yang ekspansionis di sebagian wilayah Asia. Satu-satunya negara sekutu yang mengambil-alih pemerintahan Jepang sejak masa itu adalah Amerika Serikat yang dinaungi oleh Supreme Commander of the Allied Powers (SCAP) dan General Headquarters (GHQ). Sejak masa pendudukan Amerika Serikat ini, Konstitusi Meiji yang sejak tahun 1889 hingga menyerahnya Jepang kepada pasukan sekutu digunakan sebagai landasan konstitusional Jepang diubah menjadi Heiwa Kenpo (Konstitusi  Damai) atau yang lebih dikenal sebagai Konstitusi Jepang pasca-perang pada tanggal 3 Mei 1947. Perubahan-perubahan yang signifikan yang terdapat pada periode pasca-pendudukan Amerika Serikat ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.[2]

Kategori
Reformasi
Deskripsi

Arahan GHQ/SCAP
UU Pembubaran Zaibatsu
Mereduksi kekuatan masing-masing kelompok yang disebutkan
UU Polisi
UU Anti-Perserikatan
Arahan Jepang
UU Serikat Buruh
Memberikan kesempatan kepada buruh untuk berorganisasi, bernegosiasi dan berdemonstrasi
UU Pemilihan Umum
Memberikan kesempatan mengikuti pemilihan umum bagi laki-laki maupun perempuan di atas usia 20 tahun tanpa diskriminasi
Campuran
UU Agraria
Menghapus tuan-tanah dan memperluas kepemilikan tanah bagi petani
UU Otonomi Daerah
Menjadikan pemerintah lokal dan anggota legislatif dipilih secara langsung oleh masyarakat sipil

Sejak diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai besar yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu Partai Liberal (Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat (Minshuto). Pada tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan Minshuto, melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993, Partai Demokrat Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic Party atau LDP). Sejak periode ini, dikenal istilah Sistem 1955 (gojugonen taisei).[3]
Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955
            Sebuah sistem yang mengatur partai politik atau sistem partai di dalam sebuah negara dapat didefinisikan sebagai pola organisasi, identitas pemilih, dan sekumpulan kebijakan elektoral yang memiliki karakteristik dan hasilnya yang membuatnya berbeda dengan sistem partai yang lain.[4] Berangkat dari definisi ini, sistem partai politik di Jepang mungkin dapat dinyatakan memiliki keunikan dan karakteristiknya tersendiri. Keunikan dan karakteristik dari sistem partai politik di Jepang lebih kepada langkah partai agar dapat sedemikian dominan di dalam percaturan politik Jepang.
Dominasi LDP di dalam dinamika politik di Jepang memang tidak dapat dilepaskan dari sistem partai politik tahun 1955. Sistem ini mengatur kehidupan politik Jepang pasca-Perang Dunia Kedua. Pendudukan Amerika Serikat di Jepang pasca-Perang Dunia Kedua memang memiliki dilemanya tersendiri. Dilema ini khususnya berhubungan dengan kehidupan politik Jepang yang harus menjadi sangat bergantung dengan keinginan politik Amerika Serikat di negaranya dan wilayah Asia Timur dan Tenggara secara keseluruhan. SCAP dan GHQ ketika itu melarang semua anggota parlemen petahana di Jepang sebelum Perang Dunia Kedua untuk kembali menduduki posisinya. Hal ini menciptakan sebuah peta politik yang kembali menjadi sangat mentah dan mementalkan kekuatan politik terdahulu di Jepang. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti hingga 267 partai politik.
            Sebenarnya tidak ada perubahan sistem partai politik di Jepang antara era sebelum dengan sesudah Perang Dunia Kedua, mengingat sistem partai politik Jepang sudah menjadi rigid sejak era Demokrasi Taisho. Hal ini merupakan akibat dari tidak dapat terbentuknya konsensus dalam menentukan sistem partai politik yang ideal di masa pendudukan Amerika Serikat, sehingga sistem pemilihan umum yang digunakan masih menggunakan sistem partai politik yang lama. Akan tetapi yang membuat tahun 1955 menjadi sangat penting adalah terbentuknya kekuatan dua partai di Jepang pada tahun itu. Kekuatan dua partai inilah yang sebelumnya belum pernah terjadi di Jepang bahkan di era sebelum Perang Dunia Kedua. Pada dasarnya Jepang memang merupakan sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini merupakan partai politik yang paling dominan saat itu.
            Di dalam sistem pemilihan umum tahun 1955, kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single non-transferable vote (SNTV). Penggunaan metode ini berarti di dalam setiap distrik sebuah partai politik diharuskan untuk mencalonkan lebih dari satu calon. Pemilihannya akan sangat difokuskan kepada pemilihan calon-calon individu ini ketimbang kepada partai politik itu sendiri. Banyak pengamat yang beranggapan partai LDP sangatlah diuntungkan dengan sistem ini dikarenakan posisi partai ini sebagai pemerintah sangat memudahkan bagi anggota-anggotanya dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang partai Sosialis yang kurang dikenal individu-individu anggotanya.
Kiprah Dominan LDP Sebelum 1993
Melalui sistem yang telah berlangsung sejak tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam tatanan pemerintahan Jepang selama 38 tahun, sebelum akhirnya dikalahkan melalui koalisi partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada tahun 1993, ditambah skandal-skandal yang mencoreng nama baik LDP sebagai partai yang sukses mengangkat Jepang dari ‘puing-puing’ sisa Perang Dunia kedua. Kiprah LDP selama 38 tahun di pemerintahan Jepang yang sangat dominatif ini acapkali membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni bun’no ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil perolehan suara yang didapatkan oleh LDP tidak dapat ditandingi oleh partai lain, meskipun sudah berkoalisi, dan hanya menghasilkan setengah dari hasil suara LDP. Hal ini juga didukung oleh sistem SNTV yang mampu menjadikan partai-partai diluar LDP menjadi kurang dominan selama 38 tahun.[5] Di sisi lain, LDP telah membentuk sebuah jaringan kuat yang dinamakan tetsu no sankaku chitai atau segitiga besi yang dihuni oleh partai berkuasa LDP dengan keiretsu (pebisnis) dan birokrasi sebagai penopangnya.[6] Hegemonic party system atau one-party dominant system akhirnya tercipta di dalam pola politik Jepang. Hegemonic party system tercipta ketika ada satu partai politik yang berhasil memenangkan hampir seluruh atau bahkan seluruh pemilihan umum yang telah diselenggarakan suatu negara dalam kondisi yang kompetitif. Dalam kasus perpolitikan di Jepang, Partai Liberal Demokrat yang berdiri dari fusi antara dua partai konservatif, Partai Liberal dan Partai Demokrat pada tahun 1955, berhasil menguasai pemerintahan selama 38 tahun dengan cara yang legitimatif, setidaknya dalam perspektif demokrasi.[7]
Meskipun LDP merupakan partai yang berkuasa sangat lama dan berpengaruh sangat kuat dalam setiap langkah politis, ekonomis, diplomatis dan bahkan kulturalis Jepang, LDP tidak pernah memperoleh suara yang menjadikannya memiliki dua-per-tiga kursi di parlemen, sehingga tidak sedikit dari rancangan kebijakan LDP yang diveto oleh oposisi di dalam parlemen.
Hasil Perolehan Suara Pemilihan Umum (dalam Persentase) LDP sejak 1955-2009[8]
Tahun
Persentase Suara
1958
59
1960
58,1
1963
56
1967
49,2
1969
49,1
1972
48,4
1976
43,2
1979
44,6
1980
47,9
1983
45,8
1986
49,4
1990
46,1
1993
36,6
1996
38,6
2000
41
2003
43,8
2005
47,8
2009
38,9

Meskipun demikian, perkembangan politik Jepang ekivalen dengan kiprah LDP yang mengakar kuat di dalam struktur pemerintahan, pebisnis dan masyarakat Jepang pada umumnya. Ada beberapa faktor yang mendukung progresivitas dan agresivitas LDP untuk memperoleh peranan yang dominan dalam pemerintahan Jepang sejak tahun 1955, faktor-faktor yang akan dibahas dalam reviu ini antara lain sebagai berikut:
1.      Peranan koenkai dalam menyokong perolehan suara LDP;
2.      Peranan habatsu dari legislator;
3.      Peranan seimu chosakaicho sebagai badan perumusan kebijakan yang dikeluarkan LDP; dan
4.      Peranan zoku-giin sebagai think-tank dari kebijakan-kebijakan yang berperan aktif untuk menjadi penyangga kekuasaan LDP.
Koenkai adalah organisasi yang menjadi pendukung personal kandidat yang akan menduduki kursi pemerintahan  yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap LDP. Ada perbedaan antara proporsi koenkai perkotaan dengan perdesaan, khususnya dalam hal dukungannya terhadap LDP. Di wilayah perdesaan, dukungan terhadap LDP hampir mencapai 70% lebih tinggi daripada di wilayah perkotaan. Keunikan dari perilaku pemilih dalam koenkai adalah adanya kemungkinan pemilih tidak pro-LDP dan memilih partai lain, namun tetap memilih kandidat yang berasal dari LDP, khususnya pertahana, yang dinilai memberikan manfaat dalam hal pembangunan infrastruktur, seperti jembatan, jalan, tanggul dan sebagainya.[9] Tentu saja pada akhirnya koenkai menjadi alat untuk mobilisasi pemilih secara pragmatis dan menopang kekuasaan LDP untuk waktu yang cukup panjang. Semenjak amandemen sistem pemilihan umum dan partai politik pada tahun 1994, peranan koenkai menjadi sejenis cabang dari partai-partai yang ada dalam perpolitikan Jepang, meskipun masih mampu memobilisasi pemilih hingga kurang-lebih satu dekade ke depan sebelum pemilihan umum tahun 2009 yang menjadikan Partai Demokrat (Minshuto atau DPJ) sebagai partai pemenang pemilihan umum.[10]
Di sisi lain, terdapat habatsu yang merupakan faksi dari partai-partai yang khusus dalam hal ini adalah faksi eksklusif yang dimiliki oleh LDP sebagai partai terbesar di Jepang. Sebelum tahun 1994, faksi memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menentukan calon presiden partai yang sudah barang tentu menjadi perdana menteri. Pemilihan calon presiden dapat dilakukan dengan cara nominasi yang didasarkan pada dua faktor penting, yaitu pemilihan langsung dan politik uang. Hubungan antara faksi dengan koenkai tidak terlalu signifikan karena adanya peranan yang sangat kuat dari pebisnis yang dapat memberikan bantuan dana secara langsung dalam jumlah yang lebih besar. Dalam regulasi kampanye yang telah diperbaharui, kontribusi dari segala organisasi yang dapat ditujukan untuk memobilisasi calon tertentu dilarang. Hal ini ditujukan untuk meminimalisasi korupsi yang sangat marak dan akut di dalam tubuh LDP dan birokrasi.[11] Habatsu dalam LDP sendiri dibagi atas sembilan bagian utama – di luar beberapa faksi lain yang tidak terafiliasi di dalam sembilan faksi ini –  yaitu sebagai berikut:[12]
1.      Seiwa Seisaku Kenkyūkai (Seiwa Political-analysis Council) (Faksi Machimura)
2.      Heisei Kenkyūkai (Heisei Research Council) (Faksi Tsushima)
3.      Shisuikai (Commander Plan Association) (Faksi Ibuki)
4.      Kōchikai (Large Reservoir Association) (Faksi Koga)
5.      Kōchikai (Faksi Tanigaki)
6.      Kinmirai Seiji Kenkyūkai (Research for Politics of the Near Future) (Faksi Yamasaki)
7.      Banchō Seisaku Kenkyūjo (Bancho Policy-analysis Institute) (Faksi Komura)
8.      Ikōkai (Isamu Hiroshi Committee) (Faksi Kono)
9.      Atarashii Nami (New Wave) (Faksi Nikai)
Peranan seimu chosakaicho juga menjadi salah satu penunjang dari kiprah LDP selama perjalanannya. Seimu chosakaicho adalah badan yang berfungsi sebagai perumus kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh partai yang diajukan di dalam parlemen. Badan ini acapkali menyediakan jasa sebagai ahli dalam perumusan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kelompok kepentingan dan pejabat terkait. Begitu pula dengan zoku-giin, yang secara harafiah diartikan sebagai policy-tribe, badan ini berfungsi sebagai pemikir kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh parlemen, khususnya yang dipimpin oleh LDP, agar dapat terus berjalan sesuai haluan partai. Keanggotaan zoku-giin dapat dipilih melalui kerja-kerasnya dalam pembendaharaan kebijakan, sehingga tertutup kemungkinan untuk anggota legislatif baru untuk menjadi bagian dari zoku-giin. Pada tahun 2006, keanggotaan zoku-giin berjumlah 128 dengan 36 orang yang berasal dari sangi-in dan 92 orang yang berasal dari shugi-in. Di dalam ziku-giin terbagi lagi atas 12 disiplin kebijakan, yaitu kabinet; internal dan komunikasi; keamanan; yudisial; luar negeri; keuangan; edukasi, kultur, olahraga, sains dan teknologi; kesehatan, buruh dan kesejahteraan; pertanian, perikanan dan kehutanan; ekonomi, perdagangan dan industri; pertanahan, infrastruktur dan transportasi; dan yang terakhir isu lingkungan.[13]
Kemunduran Dominasi LDP dan Reformasi Sistem Pemilihan Umum Tahun 1993
            Dimensi politik yang sangat memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi, ternyata memiliki dampak buruknya bagi LDP. Kemajuan ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak elit politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan dengan kalangan pengusaha. Kebiasaan para elit politik LDP ini mulai terlihat dengan jelas oleh masyarakat Jepang pada tahun 1980an yang mulai mendorong keinginan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dominasi LDP di dalam kokkai. Masyarakat Jepang yang sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan status-quo, kini berubah dan mendukung adanya reformasi dan berakhirnya dominasi LDP.
            Kecurigaan masyarakat semakin menjadi-jadi ketika terbongkarnya skandal-skandal yang menyangkut anggota-anggota LDP. Merosotnya dominasi LDP mulai menjadi kenyataan pada tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada pemilihan majelis tinggi di parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis Jepang mulai merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993 LDP untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh persen di kokkai. Hal ini juga disebabkan oleh banyaknya faksi-faksi yang terdapat di dalam LDP. Jadi dapat dilihat bagaimana ketika Shakai Minshuto mulai memperkuat struktur internalnya, justru LDP yang jatuh menuju jurang perpecahan di antara habatsu-habatsu yang ada.
      Habatsu-habatsu yang ada di dalam LDP ini pun perlahan-lahan mulai menunjukkan tanda-tanda perpecahan. Perpecahan di dalam LDP terbukti di kala pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik baru yang dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu. Partai-partai tersebut adalah Shinshinto (New Frontier Party atau NFP, yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto atau DPJ), Shinseito dan Shinto Sakigake.
Reformasi Pemilihan Umum Jepang
Reformasi pemilihan umum di Jepang banyak dinyatakan sebagai bentuk kejenuhan rakyat dan partai politik di Jepang dengan dinamika politik yang sangat statis dengan hanya satu partai dominan LDP. Kejenuhan ini apalagi disebabkan oleh banyaknya tindak korupsi yang dilakukan oleh para elit pemerintahan yang dipimpin oleh LDP.
            Berubahnya peta kekuatan partai politik di Jepang kemudian mulai memunculkan ide untuk mereformasi sistem partai politik di Jepang. Meskipun LDP masih merupakan pemegang kursi mayoritas dan pemimpin koalisi pemerintahan pasca-pemilhan umum tahun 1993, posisi LDP sudah semakin melemah dan kemudian menjadi tidak berdaya dalam menolak tuntutan untuk mereformasi sistem partai politik. Akhirnya, pada tahun itu pula shugi-in kokkai meloloskan berbagai undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum.[14]
       Sistem yang baru ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan yang individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan alternatif baru di dalam sistem parlementarian Jepang.[15] Jika melihat dari tujuan yang hendak dibawa, implikasi yang akan terjadi tentu dapat ditebak akan mengubah metode pemilihan umum menjadi lebih terpusat lepada posisi partai politik. Reformasi di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi, namun tidak sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam kompromi politik dengan banyak kekuatan-kekuatan partai politik, akhirnya sistem yang dipilih ialah memperkecil wilayah kandidat meskipun tetap bersifat individual (Single-member District atau SMD) dan menambahkan satu jenis pencalonan lagi yaitu perwakilan proporsional yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik. Sistem ini disebut mixed member sistem yang meletakan kekuatan pencalonan untuk dipecah menjadi dua bentuk.
            Dalam perjalanannya, sistem ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di Jepang. Hasil pemilihan umum sejak pemilihan umum tahun 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak pernah lagi mencapai hasil di atas empat puluh persen pada pemilu majelis rendah hingga kini. Posisi oposisi yang kuat ini kemudian terbukti mampu membuat dinamika politik di Jepang menjadi sangat dinamis dan seringkali berhasil menjatuhkan para perdana menteri dari LDP. Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ, partai politik oposisi paling kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi partai berkuasa.
            Posisi ini memang membuat partai politik menjadi sangat rentan dengan posisinya, namun kondisi ini justru juga membawa dampak positif dengan semakin memperkuat posisi kepengurusan pusat partai dan melemahkan faksi-faksi yang ada. Melemahnya faksi-faksi tersebut juga didorong oleh semakin bersatunya faksi-faksi yang ada di dalam setiap partai politik. Apalagi kehadiran sistem SMD dan Proportional Representation (PR) di dalam sistem pemilihan umum 1993, telah mempersulit munculnya pengaruh habatsu di dalam setiap pemilihan umum.
    Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini juga mempengaruhi tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan sistem 1955, tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi dengan tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih meningkat. Dapat dimengerti fenomena ini disebabkan oleh metode SMD dan PR yang berusaha memperkuat posisi partai politik ketimbang individu yang pada gilirannya membawa partai politik juga semakin mempertahankan elit-elitnya untuk tetap duduk di parlemen. Dengan implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin sering terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan sebelum 1993.
Penutup
Ditinjau dari faktor historis, perjalanan demokrasi di Jepang sudah berjalan seiringan dengan Restorasi Meiji itu sendiri. Kerap kali demokrasi di Jepang dihambat oleh militeristik, sebelum akhirnya ‘dilindungi’ oleh konstitusi baru, Heiwa Kenpo, yang menjanjikan demokrasi yang tidak akan terinterupsi. Akan tetapi, bukan berarti tidak terdapat oligarkisme di dalam masyarakat Jepang, karena ‘segitiga besi’ yang dihuni oleh partai berkuasa, LDP dengan birokrasi dan pebisnis sebagai penopang menjadikan partai-partai oposisi dikerdilan selama tiga dekade lebih. Perubahan kini telah terlihat di Jepang sejak kekalahan LDP, namun kita mungkin tidak dapat berharap bahwa segitiga besi ini akan hilang, karena di dalam negara yang menghargai harmonitas dan hierarki sosial, kasus semacam itu tidak akan mudah hilang dalam masyarakat.
Menjadi sebuah perjalanan yang unik bagi negara di demokrasi di dunia ketika sebuah partai berkuasa lebih dari tiga dekade tanpa interupsi. Kasus semacam ini juga tidak menjadi monopoli bagi negara-negara Asia saja, mengingat kasus serupa juga terjadi di Italia dan Israel. Dengan kekalahan LDP pada pemilihan umum tahun 1993, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam sistem perpolitikan dan pemilihan umum di Jepang. Meskipun demikian, LDP juga masih berkuasa selama satu dekade ke depan, meskipun harus berkoalisi, sebelum akhirnya terkalahkan oleh DPJ yang berhasil memenangkan pemilihan umum tahun 2009 atas hasil dari resesi ekonomi yang menimpa Jepang sebagai salah satu negara industri maju di dunia.
(Tugas Persentasi Mata Kuliah Politik di Asia Timur Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Tahun Akademik 2011/2012. Penulis berada satu tim yang terdiri dari Amarendra Adhipangesthu, Bramantyo Indirawan, Ghazi A. Sadikin, Lukman Oesman, Mirza Arifian dan Winrey.)

[1] Aikoku Koto dan Aikokusha belakangan melebur menjadi satu partai baru yaitu Jiyuto atau Partai Liberal pada tahun 1881.
[2] Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Democracy in East Asia. (Baltimore dan London: The Johns Hopkins University Press, 1998), hal.88. Bagian yang dicetak tebal merupakan undang-undang yang terkait dengan partai politik dan pemilihan umum di Jepang.
[3] Mahendra Prakash, Coalition Experience in Japanese Politics: 1993-2003. (New Delhi: Jawaharlal Nehru University Press, 2004), hal. 38.
[4] Ronald J. Hrebenar, Japan’s New Party System. (Colorado: Westview Press, 2000), hal. 4-5.
[5] Robert A. Scalapino dan Junnosuke Masumi, Parties and Politics in Contemporary Japan. (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1962), hal. 37.
[6] Frances McCall Rosenbluth dan Michael F. Thies, Japan Transformed: Political Change and Economic Restructuring. (Princeton dan Oxford: Princeton University Press), hal. 98.
[7] Jose Antonio Crespo. The Liberal Democratic Party in Japan: Conservative Domination dalam International Political Science Review, Vol. 16, No. 2, Party Government: The Search for a Theory (Apr., 1995), hal. 202
[8] Andrew Gordon, Post War Japan as History. (California: University of California Press, 1993), hlm. 420-432.
[9] Ellis S. Krauss dan Robert Pekkanen, Explaining Party Adaptation to Electoral Reform: The Discreet Charm of the LDP? dalam The Journal of Japanese Studies, Volume 30, Number 1, Winter 2004, hal. 11-12
[10] ibid., hal. 13
[11] ibid., hal. 15
[12] Disadurkan oleh situs resmi Seiwa Seisaku Kenkyu-kai (Badan Riset dan Perumusan Kebijakan) (http://www.seiwaken.jp/seiwaken/seiwaken.html#03). Diakses pada 14 Oktober 2011, pukul 19.12 WIB.
[13] Kokkai Binran, 1975-2006. (Tokyo: Nihon Seikei Shimbun Sha, 2006).
[14] Shugi-in adalah majelis rendah dalam parlemen Jepang yang dikenal sebagai house of representative dalam Bahasa Inggris, sebaliknya sangi-in adalah majelis tinggi sebagai pengganti dari kizoku-in melalui konstitusi tahun 1947 yang dikenal sebagai house of councils dalam Bahasa Inggris.
[15] Michael Gallagher & Paul Mitchell, The Politics of Electoral System. (Oxford: Oxford University Press, 2005), hal. 281.

没有评论:

发表评论